Pendidikan Ilmiah

“Sebuah Pengantar dalam Pelatihan Pendidikan Kritis dan Pendidikan Partisipatif” (era prima nugraha)

Pengertian Pendidikan Ilmiah
“Pendidikan Ilmiah” merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan. Mengapa? Karena lebih lanjut akan muncul pertanyaan : “Jika pendidikan ilmiah merupakan suatu keniscayaan, lalu apakah kemudian ada “Pendidikan yang tidak ilmiah?. Lalu apakah setiap “Pendidikan” merupakan hal yang ilmiah? Bagaimanakah kemudian pendidikan yang ilmiah itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas itulah yang akan coba kita bicarakan sebagai pengantar untuk lebih lanjut mengurai tentang “Pendidikan Ilmiah”.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, ada baiknya kita urai secara etimologis terlebih dahulu tentang Pendidikan Ilmiah. Secara etimologis (bahasa) Pendidikan Ilmiah berasal dari dua kata yaitu “Pendidikan” dan “Ilmiah”. Kemudian apakah yang dimaksud dengan “pendidikan” itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “pendidikan” berasal dari kata dasar “didik” yang berarti kegiatan mengajarkan suatu hal tertentu dengan target tertentu oleh pihak tertentu (subyek/pendidik) kepada pihak yang menjadi obyek. Maka “pendidikan” dapat diartikan sebagai: suatu kegiatan yang berkenaan dengan pengajaran sesuatu hal oleh pihak tertentu (pendidik) kepada pihak lain yang menjadi obyek (siswa didik). Dengan demikian secara istilah “pendidikan” merupakan suatu “metode” dalam memperpoleh “pengetahuan” (sesuatu obyek/materi/hal tertentu yang diajarkan).

Oleh karenanya “pendidikan” bisa sangat beragam, tergantung pada “predikat” atau materi apa yang mengikutinya. Pendidikan bisa saja mempunyai predikat misalnya : Pendidikan Kritis, Pendidikan Moral, Pendidikan Agama, Pendidikan Militer, Pendidikan Seksual, Pendidikan Ilmiah, Pendidikan Politik (Civic Education), dan lain sebagainya. Dalam konteks ini “Pendidikan Ilmiah” hanyalah salah satu ragam/varian dari ”metode” pendidikan. Dan pendidikan itu sendiri hakekatnya juga hanyalah merupakan salah satu dari “metode” pembelajaran (cara tentang bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan). Karena bisa saja seseorang memperoleh pengetahuan tidak melalui suatu “pendidikan” misalnya belajar sendiri tanpa bantuan orang lain (autodidak). Dengan demikian maka sekali lagi, pendidikan hanyalah merupakan salah satu metode pembelajaran.

Lalu apa yang dimaksud dengan “Ilmiah” itu? Secara etimologis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmiah diartikan sebagai : suatu hal yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan atau sains atau bersifat keilmuan. Kemudian apakah yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan atau sains itu? Ilmu pengetahuan atau sains adalah : pemahaman/pengertian tentang sesuatu hal yang bersifat logis (dapat diterima oleh akal/rasio/penalaran/pikiran). Dengan demikian pengertian “Ilmiah” secara istilah dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bersifat keilmuan/sains (pemahaman tentang sesuatu yang dapat diterima secara logika/akal/pikiran/penalaran).

Menurut Al Ghazali, ilmiah (berasal dari bahasa arab ‘ilmy) dimaknai sebagai suatu kebenaran aqly (bersifat akal) yang lebih tinggi sifatnya dari dua tingkat pengetahuan dibawahnya. Yaitu pertama adalah pengetahuan taklidy (otoriter, bersifat pedagogis) yang didapati pada pemahaman pengetahuan anak-anak yang belum dewasa, misalnya pengetahuan tentang sesuatu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau pengetahuan tentang sesuatu yang tidak memerlukan penjelasan secara logika maupun inderawi. Tingkat pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang dapat dijelaskan dengan bantuan/pembuktian panca indera. Misalnya pengetahuan bahwa api adalah panas, es adalah dingin, kotoran adalah berbau busuk, dll. Akan tetapi menurut Al Ghazaly, pengetahuan di tingkat ini belum bersifat mutlak, karena masih bisa menipu/belum logis. Misalnya pengetahuan bahwa air laut berwarna biru. Ini benar secara inderawi, akan tetapi tidak benar secara logis, karena ternyata setelah diambil dari laut air tetap tidak berwarna atau bening. Oleh karena itu kebenaran/pengetahuan harus lebih maju pada tingkat selanjutnya yaitu pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan (kebenaran akan sesuatu hal) yang dapat dijelaskan secara logika/penalaran/pemikiran akal. Misalnya pengetahuan tentang kenapa air laut terlihat “seolah-olah” berwarna biru, kenapa “seolah-olah” matahari berputar mengelilingi bumi, kenapa “seolah-olah” pohon dapat berjalan ketika kita naik kendaraan, kenapa “seolah-olah” bulan mengikuti apabila kita bepergian, dan lain sebagainya yang tidak hanya bisa dijelaskan secara inderawi saja. Pengetahuan di tingkat inipun menurut Al Ghazali, belum merupakan suatu kebenaran secara mutlak/hakekat karena, akal ternyata tetap mempunyai keterbatasan dalam menjelaskan sesuatu hal. Misalnya, akal tetap tidak bisa menjelaskan tentang hakikat “ruh”, hakikat inti energi dan gaya, misalnya kenapa ada gaya grafitasi, kenapa ada “atom” dan “elektron” pada suatu benda, dll. Oleh karenanya Al Ghazali berpendapat bahwa di atas pengetahuan ilmiah masih terdpat suatu pengetahuan yang lebih tinggi atau bersifat mutlak yang melampui indera dan akal. Misalnya pengetahuan tentang hal yang bersifat ghoib/spiritual. (misalnya pengetahuan tentang adanya setan, yang ternyata tidak bisa dijelaskan secara akal, dll.)

Pendidikan Ilmiah sebagai suatu Metode
Berangkat dari beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan “Pendidikan Ilmiah” adalah suatu metode pembelajaran tentang pemahaman suatu hal yang dapat diterima oleh logika atau penalaran akal. Oleh karenanya “Pendidikan Ilmiah” sebagai suatu metode, didalamnya meniscayakan beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat fakultatif dan qualitatif dalam menentukan apakah suatu pendidikan berifat ilmiah atau tidak.

Pertama bahwa karena pendidikan adalah suatu metode maka didalamnya meniscayakan adanya suatu kegiatan pembelajaran yang sistematis, terprogram dan kontinyu (sustainable). Oleh karenanya “pendidikan” harus dapat memenuhi beberapa hal berikut ini:
Adanya kegiatan pembelajaran
Ada materi yang dapat dipelajari
Ada pihak yang memfasilitasi kegiatan pembelajaran (penyelenggara pendidikan, pendidik, dll.)
Ada pihak yang mengikuti kegiatan pembelajaran (peserta didik)
Adanya alat bantu atau media pembelajaran
Mempunyai tujuan atau target belajar yang ingin dicapai
Adanya tempat pembelajaran (ruang terbuka, di dalam kelas, dll.)
Menggunakan metode yang jelas dan sistematis dalam kegiatan pembelajaran
Adanya indikator standar mengenai hasil belajar yang ingin dicapai
Mempunyai aturan atau tata tertib yang disepakati bersama oleh semua komponen belajar yang terlibat dalam suatu kegiatan pembelajaran.

Kedua “Ilmiah” sebagai predikat dalam suatu metode pendidikan, di dalamnya meniscayakan beberapa hal berikut ini :
Bahwa materi pembelajaran bersifat keilmuan (logis/rasional, dapat diterima oleh akal)
Bahwa komponen pendidikan dalam suatu kegiatan pembelajaran harus memenuhi syarat fakultatif, yaitu telah dewasa secara biologis sesuai dengan tingkatan dan standar umum yang disepakati (misalnya telah berusia 17 tahun)
Bahwa secara kualitatif komponen pendidikan dalam suatu kegitan pembelajaran harus dapat memenuhi standar persyaratan yang ditentukan, misalnya standar kesehatan (berakal sehat, tidak mengalami gangguan mental dan kejiwaan, dll.), tingkat kapasitas pengetahuan, skill, pengalaman tertentu yang dimiliki, dll.
Bahwa dalam proses pembelajaran tersebut menggunakan metode pendidikan orang dewasa (andragogi) yang bersifat partisipatif, demokratis, dialogis, kritis, analitis dan tentu saja logis
Bahwa media pembelajaran yang digunakan harus bersifat logis dan mendukung pada metode pembelajaran, misalnya menggunakan alat bantu standar seperti yang umum digunakan (kertas, alat tulis, papan tulis, alat peraga, alat bantu elektronik yang bersifat visual maupun audio visual, dll. Maksudnya media pembelajaran yang berlawanan atau kontraproduktif dengan metode pendidikan ilmiah misalnya seperti, sesajen, jelangkung, ataupun jimat-jimat tertentu yang tidak logis.
Bahwa tempat dan waktu pembelajaran yang digunakan juga harus logis dan mendukung proses pembelajaran yang dilakukan (kontekstual). Misalnya ketika materi pembelajaran adalah tentang “intensifikasi budidaya padi” maka tidak lazim apabila tempat yang digunakan adalah kebun binatang. Demikian juga sebaliknya apabila materi yang dipelajari adalah anatomi binatang, tidak lazim apabila tempat penyelenggaraan adalah di tengah sawah.
Bahwa karena bersifat ilmiah/scientific, maka proses pembelajaran dan hasil pembelajaran harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral. Dalam arti tidak bertentangan dengan hakekat sains yaitu ilmu pengetahuan bersifat positif, produktif dan konstruktif yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan dan kemajuan peradaban masyarakat.

Pendidikan Ilmiah dalam “Sistem Pendidikan Kita”
Pendidikan ilmiah pada dasarnya merupakan metode standar yang harus digunakan dalam sistem pendidikan kita, sesuai dengan tingkatan dan kebutuhannya masing-masing. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih sering kita jumpai beberapa hal yang justru kontra produktif dengan tujuan yang ingin dicapai dari sistem pendidikan ilmiah itu sendiri.

Tidak usah jauh-jauh, apabila kita mau jujur dan tentu saja berpikir logis, ada banyak hal yang apabila kita sadari ternyata hal tersebut bisa jadi merupakan “black hole” (lubang hitam) yang menyebabkan pendidikan kita terpuruk pada kubangan lumpur. Misalnya budaya suap dan korupsi yang tidak logis. Belum apa-apa pendidikan kita sudah dinodai sejak awal dari upaya pendaftaran masuk siswa pada lembaga pendidikan (Sekolah/Universitas). Bahwa kewajiban-kewajiban pendanaan yang melangit baik melalui cara-cara yang legal maupun ilegal (jalan belakang) pada dasarnya adalah sangat tidak ilmiah bahkan telah mencederai hakikat pendidikan dan ilmu pengetahuan secara moral. Bagaimana mungkin pendidikan ilmiah dapat memenuhi tujuannya ditengah penyelenggaraan pendidikan dan kelembagaan yang korup dan tidak bermoral? Maka hasilnya pun sebetulnya telah dapat ditebak. Pendidikan yang sudah tidak lagi bersifat ilmiah atau hanya bersifat ilmiah dalam bungkusnya tetapi di dalamnya justru yang tampak adalah spirit bisnis, kapitalisasi finansial dan korupsi yang dibungkus dengan basa-basi peningkatan kualitas, jelas hanya akan menghasilkan produk pendidikan yang juga bermental kapitalis, serakah dan korup.

Belum lagi jika kita melihat pada kenyataan seperti apa metode pendidikan ilmiah dipraktekkan dalam sistem pendidikan kita. pada kenyataanya belumlah sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama. Model pendidikan yang “setara” dimana guru dan dosen berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran dan murid adalah mitra belajar bersama, jelas belum membudidaya. Dimana-mana yang terjadi kebanyakan murid diposisikan sebagai subordinat yang lemah dan “tertekan” dan guru/dosen dalam posisi in ordinat yang mendominasi dan menghegemoni. Belum lagi masih kentalnya model pengajaran satu arah yang monologis yang sama sekali tidak cerdas yang memasung nalar kritis dan analitis siswa, menjadikan murid terbiasa bersikap pasif dan tumpul kreatifitasnya.

Belum lagi ketidaktrasnparanan dan kesewenangan birokrasi lembaga pendidikan, belum lagi kualitas dosen yang tidak kualitatif dan kompeten dalam perannya sebagai “pendidik” yang bukan hanya berfungsi sebagai pengajar dan pegawai. Belum lagi berbagai kebijakan pendidikan yang tidak bermutu, swastanisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan melangit, standar kelulusan yang sangat tidak logis yang menyebabkan banyak siswa depresi dan bunuh diri. Belum lagi ketika ternyata sekolah lama-lama dan mahal-mahal ternyata tetap susah cari kerja dan terjebak menjadi pengangguran permanen. Lalu apakah model pendidikan seperti itu masih patut kita pertahankan dan bahkan kita rela membayar berapapun hanya untuk sekedar bisa masuk dalam sistem?

0 komentar: