(Sudah) Paling Benarkah Kita?

(oktober 2007, era prima nugraha)

Suatu malam saya bertamu ke rumah tetangga. Pak Slamet, demikian namanya. Tak jelas asal mulanya dari mana dan siapa sebetulnya Pak Slamet itu. Yang saya tahu dari cerita anaknya, bahwa Pak Slamet berasal dari Jatiwinangun, seorang guru di Sekolah Negeri Kejuruan. Pada mulanya saya sungguh tidak menyangka pertemuan dengan dia akan menjadi sesuatu yang menghebohkan. Sebetulnya maksud kedatangan saya adalah hendak menyambangi anaknya, yang kebetulan teman almarhum adik saya. Maksudnya meminta dia untuk ikut jamaah Yasin di tempat saya. Tapi nasib berkata lain. Maksud hati ketemu anaknya, eh malah ketemu bapaknya. Sejak berulang kali saya main kerumah teman adik saya itu, memang baru sekali ini saya ketemu bapaknya.

Awalnya, sepertinya semua biasa-biasa saja. Sayapun berbasa-basi seperlunya. Meminta maaf untuk almarhum jika ada kesalahan, dan memohon untuk ikut mendoakannya. Pak Slamet pun menanggapi basa-basi saya, malah dengan sangat serius. Ya, kelewat serius. “Mas, yang paling penting itu adalah zakat… atau shodaqoh jariyah untuk adik sampeyan..”. Ini saya sepakat. Karena memang betul. Akan tetapi, beliau tidak cukup sampai disitu rupanya. Beliau segera masuk ke dalam dan mengambil Al Qur’an terjemahan yang sangat tebal. Tebal sekali pokoknya, dan sungguh saya baru pernah melihat Al Qur’an terjemah setebal itu. Intinya, beliau “memaksa” saya untuk berdiskusi. Saya sendiri agak heran, kenapa beliau tiba-tiba “memaksa” saya. Apakah tidak sebaiknya ditanyakan terlebih dahulu apa maksud kedatangan saya. Atau lebih lanjut bertanya apakah saya mempunyai waktu luang atau sedang ada urusan yang perlu dikerjakan. Inilah yang membuat saya heran pada mulanya. Tapi tiba-tiba saja diskusi telah berjalan.
Pada mulanya dia bercerita tentang banyak hal, kehidupan pribadinya. Tentang bagaimana ia senantiasa “berdakwah” di tengah kesibukannya sebagai guru. Katanya juga, selalu berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, luar kota malahan, dengan tanpa bayaran. Wah, ini tentu luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, dalam jaman sekarang ini sudah sangat jarang orang yang bisa seperti itu. Saya menjadi tertarik dengan orang ini. Akan tetapi saya juga tidak bodoh tentunya. Tidak terlalu mudah bagi saya untuk “taklid” atau mengikuti begitu saja pada pendapat orang. Biar bagaimanapun, saya selalu harus mempunyai alasan empiris tentang sesuatu hal yang saya yakini kebenaranya.

Baiklah, pertempuran adu mulut dimulai ketika dia menyatakan ketidak sepakatannya pada “ritual tahlilan”. Menurut dia tidak ada “Nash” di dalam Al Qur’an ataupun Hadits yang menyatakan tentang itu. Tentu saja saya sepakat, karena memang demikian. “Tahlilan” memang tidak ada nash ataupun haditsnya. Ia (Tahlilan) menurut saya adalah “ritual” yang hanya terdapat di negeri ini, Jawa terutama. Ia lebih sebagai suatu konvensi agama atau sistem adat atau pranata kultural bagi masyarakat Jawa. Sejarahnya sendiri cukup panjang. Jawa, sebelum Islam masuk, adalah tempat yang subur untuk kepercayaan Hindhu dan Budha, Animisme dan Dinamisme malah sabelumnya. Dahulu, pada masa itu, masyarakat jawa mempunyai suatu ritual “keagamaan” yang agak menyimpang untuk ukuran Islam dan standar sosiologis saat ini. Yaitu ritual “Maithuna”, dimana masyarakat bergerombol membentuk suatu lingkaran (kepungan) dan membaca doa (mantra), yang dimaksudkan sebagai persembahan/sesaji korban untuk “Hyang Widhi”. Biasanya ini dilakukan ketika sebelum atau sesudah orang menyelenggarakan hajat atau peristiwa “sakral”. Misalnya, kelahiran anak lelaki, kematian, pernikahan, dll. Yang menarik dalam ritual itu, bahwa “materi sesaji” yang diadakan tidaklah seperti yang kita kenal sekarang. Misalnya “daging” yang digunakan adalah “babi” atau “anjing”. Juga minumnya tidak minum teh, akan tetapi darah binatang sembelihan atau bahkan darah manusia. Juga minuman keras “arak”, bunga setaman, air, dupa dan kemenyan. Dalam acara yang lebih “sakral” malah menggunakan “perempuan” sebagai kurban, setelah disetubuhi terlebih dulu oleh peserta “maithuna”.

Kebudayaan “menyimpang” inilah yang coba diluruskan oleh para Wali Sanga dahulu, karena menghilangkan budaya ini pada saat itu sangat tidak memungkinkan. Mungkin terlalu besar resiko sosialnya, sehingga dalam kalkulasi matematis tidak strategis untuk penyebaran Islam yang masih sangat awal di tanah Jawa.

Sunan Kalijaga waktu itu memodifikasi “ritual” ini menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai “tahlilan”. Mengganti mantra dengan doa, mengganti arak dan darah dengan “teh”. Mengganti babi dengan ayam atau kambing. Mengganti “perempuan” dengan tumpeng. Ritual ini memang lebih condong pada manfaat hablumminannaas sebetulnya. Walaupun dalam konteks hablumminalloh juga tidak kalah “urgent”nya bagi yang bisa memahami.

Beliau, Pak Slamet, memandang bahwa mengundang orang “tahlilan” adalah suatu hal yang percuma atau sia-sia dikarenakan tidak semua orang yang diundang (biasanya adalah para tetangga) mempunyai standar keimanan atau standar ketaqwaan yang memungkinkan “doa” bisa terkabul. Pak Slamet mencontohkan bahwa tidak semua orang yang hadir, “fasih” membaca Al Qur’an dengan makhroj dan tajwid yang benar. Tidak semua orang mengerti tentang apa yang dibacanya. Tidak semua orang yang hadir mengerjakan “sholat” malahan. Tidak semua orang yang hadir adalah orang yang sholeh baik dalam ukuran syariat maupun hakikat. Misalnya ada saja tetangga yang “penjudi”, “peminum”, suka main perempuan, pernah korupsi, bahkan mungkin juga berakhlaq tidak baik, misalnya, suka menggunjing, berkata bohong, tidak mengembalikan barang pinjaman atau hutang, dll. Secara ekstrim mungkin malah ada yang beragama nasrani atau malah “tidak beragama”. Jadi sekali lagi beliau memandang percuma mengadakan tahlil dengan jamaah yang seperti itu. Tidak seragam taqwanya. Beliau sangat khawatir bahwa doa orang-orang tersebut tidak makbul. Jadi, beliau lebih memilih untuk berdoa sendiri.

Ya, orang berpendapat demikian tentu boleh saja. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Misalnya bahwa menurut saya “ritual tahlilan” walaupun tidak berdasar Nash dan Hadits, adalah suatu amalan yang “boleh” dilakukan, karena tidak bertentangan dengan “syariat”. Bahwa pada kenyataannya yang dibaca dalam tahlil adalah, Al Qur’an, sholawat nabi, kalimat thoyyibah dan doa. Jelas tidak bersalah bukan membaca hal-hal diatas, bukankah itu justru dianjurkan dalam syariat? Yang kedua, “tahlilan” mempunyai nilai sosial yang tinggi. Untuk menjalin shilaturrahmi dan ukhuwah, mendorong orang untuk terbiasa mengucapkan kalimah thoyyibah, dan bagi jenazah merupakan sarana beramal jariyah melalui orang yang masih hidup. Minimal, bagi yang suka judi, minum dan korupsi, bisa sekali-sekali menyelingi waktunya dengan “dzikrullah”.

Pak Slamet tentu saja boleh kurang percaya dengan standar keimanan dan ketaqwaan seseorang, bahkan boleh saja khawatir, doa orang seperti itu tidak akan “makbul”. Akan tetapi juga perlu diingat bahwa apakah jaminan doa kita juga pasti akan diterima Allah SWT? Jangan-jangan justru kita sendiri yang terjebak pada perasaan ujub dan takabur mengagumi amalan dan kebaikan diri sendiri. Jangan-jangan kita malah sedang menyekutukan Tuhan, menyembah amalan kita? Lalu apakah Tuhan hanya milik kita? Milik orang-orang yang dikatakan “alim” saja. Tidak bolehkah seorang penjahat berdoa? Salahkah pelacur, penjudi dan pemabuk berdoa? Apakah surga sudah pasti milik kita? Bukankah Tuhan sendiri adalah “Tuhan semesta alam”, bukan hanya Tuhannya para orang alim, kyai, ustadz, atau ulama saja. Tidak berhakkah tukang becak, pemulung, pengamen, calo terminal, psk dan maling bertuhan?

Wong, sayyidina Umar saja, ternyata masuk surga bukan karena amal ibadahnya, bukan karena sholatnya, bukan karena shodakohnya, puasanya, zakatanya, hajinya, zuhudnya, wara’nya, dll. Tapi justru karena rahmat Allah pada peristiwa kecil saat Umar menyelamatkan seekor burung yang sedang jadi mainan anak-anak. Lalu pantaskah kita yang “tidak lebih mulia” dari Umar bin Khattab menyombongkan amalan kita, dan merasa diri paling suci?

0 komentar: