(Maret 2007, era prima nugraha)

1600-an tahun silam, di negeri Kalingga, tak ada seorangpun yang berani mengambil barang yang terjatuh di jalan. Dan kadang kita lupa bahwa raja Kerajaan tersebut adalah seorang wanita bernama Ratu Simha. Anak-anak di sekolah tentu tak diajarkan kalau nenek moyang perjuangan melawan kolonialisme adalah seorang perempuan berhati baja dari Jepara 500 tahun silam. Kalau saja Ratu Kalinyamat tidak menanamkan apa arti nasionalisme dan perjuangan tak kenal menyerah pada putranya, mungkin saja Pati Unus tak bakal punya nyali melawan Portugis di Selat Malaka. Pun setelah sang putra tewas, sang Ratu masih terus membangun Angkatan Laut-nya di pelabuhan Jepara, sayang upaya penyerangan kedua gagal justru karena “intrik” orang dalam Demak Bintoro sendiri.

Agaknya Ratu Kalinyamat tak pernah betul-betul mati. Semangat dan dendamnya pada kolonialisme bahkan sampai terbawa oleh angin dan setiap butir debu di tanah hingga berabad-abad lamanya. Maka tak usah heran jika 400 tahun kemudian di Jepara lahirlah seorang bernama Kartini (21-04-1879) yang bukan hanya berhati baja tapi juga berpikiran emas. Dan lagi-lagi di sekolah kita tak pernah tahu bahwa nenek moyang perjuangan melawan penjajahan melalui pemikiran atau yang kita kenal sebagai zaman “pergerakkan” nasional adalah seorang wanita muda bernama Kartini. Sejarah hidupnya memang tak panjang (wafat : Rembang, 17-09-1904), tapi seperti Ratu Kalinyamat atau Ratu Simha, semangat dan ethos-nya tak pernah mati dan terus terbawa angin hingga kini.

Ketika Omar Said Cokro Aminoto, Agus Salim, Douwes Dekker atau Suryadi Suryaningrat masih sibuk belajar “memintarkan” dirinya, Kartini muda dalam usia 14 tahun, sudah berani mendirikan “sekolah-sekolahan” yang bisa jadi merupakan nenek moyang seperti yang sekarang kita kenal dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), atau semacam SKB (Sanggar Kegiatan Belajar). Setelah “sekolah” yang didirikan Kartini itu, baru lahir kemudian semacam Budi Utomo, Taman Siswa dan studi klub-nya Sukarno pada masa awal pergerakan Nasional.

Yang menjadi luar biasa dalam diri seorang Kartini adalah bahwa jelas dia berbeda dengan Cokro Aminoto, Agus Salim, atau Sukarno yang secara gender adalah maskulin dan “bergerak” dalam usia yang telah matang, apalagi setelah lulus jadi sarjana. Kartini tampaknya tak perlu menunggu lama hingga usia matang atau menanti hingga lulus Sarjana untuk “mengajar” dan bergerak (berjuang). Dalam hal ini Kartini yang hanya berpendidikan formal Sekolah Rakyat (SR) hingga usia 11 tahun, jelas lebih cerdas, berpikiran maju (avant garde), atau seperti apa yang dikatakan oleh Antonio Gramsci sebagai intelectual organic ; seseorang yang tidak hanya memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang terlepas dari realitas sosial, namun dapat memanifestasikan dalam realitas yang sesungguhnya saat berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang mendominasi, dan menjadi counter hegemony terhadap kelas dominan dalam rangka membela rakyat atau kelas tertindas.

Kartini, dalam usianya yang menginjak belasan tahun mulai menghadapi tekanan budaya feodal yang begitu ketat. Tapi seperti kata Kartini, “Dinding ini tak akan pernah cukup untuk membatasiku melihat dunia yang begitu luas. Aku tak akan pernah mati dalam penjara ini.” Kartini muda cukup cerdas untuk menentukan bagaimana ia harus belajar, maka dalam masa pingitan 3 tahun itu, Kartini telah belajar banyak tentang dunia melalui surat dan kiriman buku-buku temannya dalam bahasa Belanda. Belum genap berusia 14 tahun ia telah menjadi pembelajar hebat, mengenal sejarah Eropa mulai dari zaman batu, Romawi, hingga masa kegelapan dan pencerahan.
Dan ia mulai membandingkan kemajuan Eropa dan kenyataan yang dihadapi di negerinya. “Alangkah malang nasib-nasib-mu dhik, mereka telah belajar dengan cepat hingga mampu ke negeri kita, dan kita disini terjebak dalam kegelapan .” begitu kata Kartini pada adik-adiknya. Maka dalam salah satu suratnya yang melegenda, dengan dilatarbelakangi pemikiran yang mendalam atas nasib rakyat di negerinya ia menulis “door duisternich toots licht” (habis gelap terbitlah terang).

Tapi kapankah terang itu datang? Ketika masih saja banyak anak yang buta huruf setelah 62 tahun lebih Indonesia Merdeka. Ketika pendidikan makin mahal dan ijasah dijual seperti komoditi. Ketika rakyat miskin terdiskriminasi oleh pemerintah di negerinya sendiri, untuk cukup hanya belajar sampai tingkat SMP. Dan jelas pemerintah negeri ini tidak lebih bodoh dari Kartini, tapi mengapa mereka tampak lebih bodoh dari Kartini dalam urusan memajukan pendidikan rakyat di negerinya sendiri. Puih!

0 komentar: