Cinta Gus Faiz

“Assalaamu’alaikum..”, salam terucap dari Faiz ketika sampai di pintu rumah. “Wa’alaikumussalam..”, jawab Ummi dan Mba Frida. Mereka sedang bersiap-siap untuk pergi ke pengajian. “Nak, Ummi dan Mba Frida akan pergi ke rumah Bu Nani untuk mengikuti pengajian. Makanannya sudah Ummi siapkan di meja.”, kata Ummi. “Terima kasih Mi..”, jawab Faiz singkat.
Setelah makan, Faiz langsung nonton TV. Karena capek, dia tidak ikut pengajian Abahnya di masjid. Lagi asyik nonton TV, Gus Faiz dikejutkan oleh suara merdu seorang akhwat. “Maaf Gus, Umminya ada ?”, ucap akhwat santriwati yang sudah ada di depan Gus Faiz. “Oh, Ummi sama Mba Frida lagi ke pengajian, nanti sore baru pulang.”, jawab Faiz sekenanya. “Kalau begitu terima kasih Gus, saya permisi dulu.”, balas santriwati itu yang langsung lenyap dari hadapan Gus Faiz. Padahal belum sempat Gus Faiz menanyakan ada kepentingan apa.
Selama semalaman Gus Faiz tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan santriwati yang tadi siang menemuinya. Ia tidak mengenalnya karena ia adalah santri baru. “Kemana aku harus mencari tahu ya?”, pikir Gus Faiz sambil mengerutkan kening. “Eh, Fatimah..”, bisik Gus Faiz memanggil Fatimah. Fatimah adalah abdi dalem Ponpes ayahnya. Ia yang selalu membantu mengerjakan tugas rumah. “..kamu tahu nggak santriwati baru yang anaknya tinggi, kulitnya putih, sopan, matanya indah dan suaranya merdu ?”, tanya Gus Faiz. “Oh, itu Hasna, Gus.”, jawab Fatimah singkat. “Dia sekolah dimana ?”, kembali Gus Faiz bertanya. “Sekolahannya bareng Gus Faiz, tapi dia masuknya hari Senin besok.”, kata Fatimah. “Ooh, makasih ya. Tapi awwas!jangan bilang sama Ummi dan Mba Frida lho !”, ancam Faiz. “Iya Gus. Ehm..ehm..”, Fatimah pergi meninggalkan Gus Faiz yang masih penasaran.
“Oh..Hasna.. itukah namamu ? Kau adalah akhwat yang cantik. Matamu indah, suaramu merdu, dan kesopananmu. Andai saja aku bisa lebih dekat mengenalmu. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang ada di hatimu. Aku ingin menjadi penjaga hatimu. Aku yakin kau wanita yang sholehah. Tapi itu mungkin takkan pernah bisa. Aku sadar kau dikirim orang tuamu ke sini untuk belajar, bukan mencari jodoh. Aku percaya, bila kau ditakdirkan jadi jodohku, kau pasti akan kumiliki. Aku tak sabar melihatmu hari Senin besok.”, Gus Faiz menutup buku pribadinya.
Waktu terus berputar. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun telah terlewati. Sekarang Gus Faiz dan Hasna telah lulus sekolah. Dan sekarang adalah saatnya Gus Faiz untuk menyatakan perasaannya yang selama ini terpendam. “Hasna, maaf bila aku lancang. Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Aku ingin menjadi pendamping hidupmu. Maukah kau menjadi pendampingku?”, ucap Gus Faiz dengan sangat berani tanpa basa-basi. “Maaf Gus, aku tak bisa. Ibuku menyuruhku pulang ke Kalimantan.”, ucap Hasna. Dia memberikan selembar kertas kepada Gus Faiz kemudian langsung pergi. “Dulu aku datang ke sini karena aku tahu tentang dirimu. Aku pernah melihat fotomu di penanggalan Ponpes ayahmu ini. Tapi selama ini aku sadar, aku dikirim orang tuaku ke sini untuk menuntut ilmu. Aku juga sadar, aku kurang baik untukmu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dariku. Maaf, Fatimah sudah bercerita banyak padaku tentangmu. Salam, Hasna.” Gus Faiz terdiam, dimasukannya secarik kertas dari Hasna ke dalam buku hariannya. “Aku percaya, Allah sudah mengatur semua ini. Ia Maha mengetahui apa yang terbaik bagi umatNya”.

*Abdullah Faqih adalah pelajar SMUN 3 Purwokerto.
Tinggal di Ponpes Darul Istiqomah Kedunglemah, Kedungbanteng

0 komentar: