Gerakan Dakwah Kultural NU di Indonesia*

Oleh : M Ridwan, M.Ag.

A. Sekilas Sejarah Berdirinya NU

Nahdhatul Ulama (NU) adalah jam’iyyah diniyah Islamiyah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M di Surabaya. Organisasi ini dirintis dan didirikan oleh para ulama pesantren yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam serta khidmat kepada bangsa, negara dan ummat Islam. Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah Islamiyah senantiasa berpegang kepada kaidah-kaidah keagamaan (Islam) dan kaidah-kaidah kenegaraan dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah-langkahya.
Memahami NU sebagai jamiyyah diniyah secara tepat belumlah cukup dengan hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir berikut pertumbuhan dan perkembanganya. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (komunitas) yang terikat kuat oleh aktifitas social keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri. Dengan demikian lahirnya NU sebagai organisasi (jam’iyyah) tidak ubahnya mewadahi barang yang sudah ada. Dengan kata lain berdirinya NU tidak lebih sebagai penegasan formal para ulama yang sudah berjalan jauh sebelum NU lahir.
Dari sekian literature yang berkaitan dengan latarbelakang lahirnya NU, pada umumnya menunjukan warna yang sama yakni reaksi atas perkembangan modernisme Islam yang tarik menarik anatara perkembangan politik Timur Tengah dengan dinamika internal perkembangan Islam di tanah air. Reaksi dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh Islam penganut paham Ahlussunnah wal jama’ah dimana akar-akar reaksi tersebut berdimensi idiologis-kultural.
Gerakan purifikasi didunia Islam yang dikumandangkan oleh Muhammad Abduh dengan pandangan Wahabi juga berpengaruh terhadap perkembangan Islam Indonesia telah menghadapkan ulama pesantren sayap tradisi menjadi terusik yang mana kelompok ulama pesantren dinilai oleh ‘kelompok pembaharu’ mengembangkan taqlid dan penuh dengan bid’ah sehingga lahirlah perdebatan seputar khilafiyah pada persoalan furi’iyyah (masalah cabang-cabang dalam agama). Di samping itu kelahiran NU juga sebagai respon ulama pesantren terhadap isu keislaman global setelah terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dimana Abdul Aziz ibn Saud yang Wahabi berkuasa dan akan melakukan penataan kota Makkah dan Madinah yang antara lain programnya adalah pembersihan ajaran mazdhab dan perbersihan makam-makam yang selama ini diziarahi jamaah haji termasuk makam Rasulullah karena dianggap sarang bid’ah. Kelompok ulama pesantren inilah yang kemudian tergabung dalam Komite Hijaz yang akan menyampaikan nota protes kepada pemerintah Saudi dan agar membatalkan pembersihan makam Rasulullah. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama.

B. Kerangka Pemahaman Keagamaan dan Basis Sosial NU

Sebagai organisasi social keagamaan , NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh para penggagas berdirinya organisasi ini memiliki jaringan mata rantai dengan para ulama Haramain pada masa kekuasaan Turki Usmani yang nota bene berhaluan Sunni.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ASWAJA sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Menurut terminology ini, maka penganut Sunni tidak hanya NU saja tetapi hampir semua ummat Islam Indonesia adalah Sunni. Hanya saja kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Dibidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembang empat imam madzhab (aimmatul madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam) jauh lebih dominan disbanding dimensi yang lain.
Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk megembangkanya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality) yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat.
Cara pandang keagamaan yang cenderung fiqh oriented dengan pleksibilitas yang tinggi terhadap elemen-elemen perubahan ataupun elemen udaya local menjadikan NU menolak cara pandang berfikir yang ‘hitam putih’ (legal formal).
Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud / stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok "Islam Modernis". Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justeru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensi metodologis/istinbathi
Sedangkan basis social warga NU adalah pada adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan yang pada umumnya berbasis pesantren baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri.
Pergeseran warga dan basis social NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan didalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba menembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.

C. Misi dan Strategi Dakwah NU

Berkaitan dengan misi Nahdhatul Ulama (NU) sebagai jam’iyyah diniyah kami kutipkan dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai berikut :
Bab II : Aqidah
Pasal 3 : Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah yang menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
Bab V : Tujuan dan Usaha
Pasal 6 : Tujuan Nahdhatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 7: Untuk mewujudkan tujuan di atas maka Nahdhatul Ulama melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
Di bidang agama mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar serta peningkatan ukhuwwah islamiyah.
Di bidang Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Di bidang sosial, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan dengan mengupayakan keadilan social dan keadilan hukum disegala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan umat di dunia dan akhirat.
Di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.
Mengusahakan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (maslahat al-‘ammah) guna terwujudnya khairu ummah.
Adapun berkaitan dengan strategi dakwah yang dikembangkan oleh NU, maka pada tataran implementasinya sangat dipengaruhi oleh model pemikiran dan prilaku (manhaj al-fikr wa sirah) dalam pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada tiga sikap /karakter dalam beragama:
1. Tawassuth (moderat) yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan tanpa mengambil sikap ekstrim (tatharruf). Implementasi sikap ini dalam konteks hukum adalah keseimbangan dalam menggunakan wahyu dan akal dan dalam konteks aqidah tidak gampang memberikan vonis kafir, sesat kepada orang lain. Mengambil sikap tengah antara: wahyu dan akal, Taqdir dan ikhtiyar dan antara taqlid dan ijtihad.
2. Tawazun dan Ta’adul (keseimbangan) sikap ini terepleksi dalam tata pergaulan baik dimensi politik maupun budaya ysitu dengan mengambil sikap akomodatif kritis dengan mengembangkan seruan amar ma’ruf nahi munkar.
3. Tasamuh (toleran) yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap menghormati keragaman pemahaman, tindakan maupun gerakan dalam konteks keislaman. Prinsip ini dimaksudkan dalam upaya membangun ukhuwwah baik ukhuwwah Islamiyah, Basyariyah maupun Wathaniyah.
Dengan mendasarkan pada tiga pilar maka startegi perjuangan / dakwah NU menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya. Dalam Program Pokok Pengembangan NU (1994-1999) dijelaskan beberapa prinsip dasar dalam berdakwah dengan melakukan tranformasi social menuju ‘izzul Islam wal muslimin dengan mendasarkan pada beberapa ayat yaitu: suarat An-Nahl: 125, Ali Imron: 104, 110, 112, Al-Anbiya: 107.
Walaupun demikian pendekatan-pendekatan structural secara institusional juga dilakukan dengan melakukan advokasi-advokasi yuridis dan politik yang diperankan oleh elit-elit NU ataupun tokoh NU non structural yang tersebar diberbagai partai politik. Dalam pandangan elit NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya" (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.
Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah " al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah" yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Wallahu a’lam bis showab

0 komentar: