Daun Jatuh

“ Daun Jatuh ”
a r o m a n a u t o b i o g r a p h i

a tribute for
greatest love seventh memory of
era prima nugraha and fajar rubiyanti

writted by : era prima nugraha,
based from the true story
@copyright/2007


Prelude

Mungkin begitu Yan,
pada mula dan akhirnya
hidup kita tak jauh dari selembar daun
yang terjatuh dari bintang
segar awalnya pada pupus yang hijau,
menggoda pada mudanya
menari di pucuk-pucuk pada siraman cahaya dan desau angin
lalu istirah sejenak pada kemuningnya
dan tiada sesuatu bisa diperbuat pada akhirnya
tinggal menunggu saat jatuhnya tiba
diterpa angin kencang atau menyerah pada usia
lepas dari tangkai dan pucuk
melayang pada udara
dan tiba pada bumi sebagai
daun jatuh….






1


Perjalanan pulang dari kota S sudah tidak menarik lagi. Bukan kerna suatu apa tapi hati ini memang sepertinya percuma saja melihat sesuatu yang indah-indah. Perjalanan yang biasanya sangat aku nikmati apalagi dengan bus kelas 1, sepeti gizi bagi pikiranku yang jenuh. Aku selalu tergoda untuk melihat kanan-kiri walau telah ratusan kali aku hilir mudik pada jalanan yang sama. Tapi kini… entahlah.. tiba-tiba semuanya jadi menyebalkan. Gunung itu tetap masih berdiri dengan indah dan kokoh. Tapi aku takut tuk melihatnya, mungkin lebih takut sebetulnya aku pada bayangan ketakutanku sendiri. Detik-detik keluar dari kota S biasanya juga tak pernah aku lewatkan. Memandang dari jendela dalam buaian kursi tidur dan udara ber-AC adalah moment yang aku harus terjaga, melek, mendelik, bahkan selalu tidak ingin aku lupa. Aku takkan mungkin melewatkan pandangan sebelah kiri jalan tol ketika lewat di atas jembatan Tembalang, diatas segitiga AKPER atau gedung AKPER itu sendiri, musholanya terutama. Dan toko ADA selalu ada juga aku lihat. Sempat terkenang waktu belum lama aku dan Yanti belanja barang ala patutnya. Mungkin lebih tepat mejeng atau cuci mata sebetulnya. Biasa juga aku selalu dengan barang bawaan yang seringkali tidak perlu, hehe..kali ini dengan separuh durian yang terbuka di dalam tas. Dan sejak saat itupun aku belum balik lagi ke S, mungkin jadilah ini kali terakhirnya aku pulang dari S setelah hiruk pikuk yang melelahkan itu.
Pff.. Mengeluh? Ahoi.. aku ini aktifis yang militan, pantang aku mengeluh, seperti telah dikatakan oleh seniorku ratusan kali dalam diskusi. Ahoi.., sedang berkilah tentunya. Mungkin benar juga, fase terakhir ketika orang tidak mau dianggap mengeluh, sampai juga pada tahap berkilah. Itu juga kata seniorku dalam ratusan kali aku ketemu dia. Pff.. sebetulnya lebih tepat kalau lelah… itu saja. Aku ingin istirah barang sejenak pada perjalanan pulang dari S ke P.
Ah, tapi terjaga juga aku pada perhentian separoh perjalanan. Ya, tentu saja rumah makan seperti biasa. Gayatri orang bilang nama rumah makan itu. Pada mulanya aku tak tahu karena dulu tidak ada papan nama. Pun kini hanya tulisan besar di atas pintunya. Ah, peduli amat aku pada barang begituan.
Malas… malas sekali aku keluar. Kalau saja tidak karena pengin sekali aku buang air kencing, sumpah aku tak akan keluar. Ya, malas saja. Makan pun tidak.
Masih juga aku mengira-ira hal yang sebenarnya aku sudah tahu jawabnya. Hehe… tengok kanan-kiri siapa tahu ada counter jual pulsa. Bodoh benar aku… rumah makan walaupun besar, tapi tetap saja di tengah sawah. Tidak barang satupun ada orang jual begituan, jual pulsa. Kebiasaanku sebagai intelijen yang selalu ada jalan untuk banyak hal terbukti manjur dalam banyak situasi. Hehe… kali ini aku berhasil merayu seseorang untuk memberikan pinjaman HP plus pulsa gratis di dalam bus. Keberuntunganku selalu mujur dalam hal ini. Yup! Pulsa telah masuk ke dalam pesawatku dari rekanan yang biasa.
Aku tak tahu sejak kapan ia jadi kebutuhanku. Ya, kebutuhan yang teramat pokok. Seperti orang Jawa saja terhadap nasi, walaupun seharian telah banyak makan rupa-rupa makanan, tetap saja orang Jawa bilang “belum makan” jika belum ketemu nasi. Begitulah adat umum yang membuat orang tanpa sadar menurut begitu saja. Jadi dia memang kebutuhanku dalam segala tempat di badan ini; kepala, pikiran, hati, perut kebawah sampai ujung kaki, apapun. Jadi tetap saja jari-jemari ini bergerak lincah merangkai kata, dan selalu-selalu saja ke nomor itu 085641169792. Ya, nomor yang itu-itu juga. Seribu satu kali aku sadar sejak mulanya, tak akanlah di balas aku barang sesuatupun. Aku kenal dia hampir sepuluh tahun, terhitung sejak pertama ketemu di depan masjid di kampung T, dia perempuan yang kuat sebetulnya. Dan kini makin keras saja hatinya padaku. Mengapa? Jawaban dari kata tanya itu yang membuat aku pusing. Entahlah, hanya dia sendiri yang punya rahasia tentang itu. Sejauh inipun aku hanya bisa mengira-ira. Sungguh, jika tidak karena aku teramat “berperasaan” padanya, mana mungkin aku bakal merengek dan selalu menerima begini rupa. Sedang akupun terlalu lemah pada yang satu orang ini, meskipun terhadap siapapun aku teramat kuat. Tapi tidak untuk yang seorang ini. Banyak juga kenalan cewek dalam list HP-ku. Tapi tak ada yang menarik selain dia. Banyak juga yang menarik sebetulnya, tapi apa mau dikata hati ini tak pernah tergerak barang sesuatupun. Paling jauh hanya iseng, itupun bila aku benar-benar kehabisan kerjaan dan tak pernah pula lagi aku menanggapi balik. Hehe.. seperti pepatah saja, “lempar sms sembunyi tangan.”
Of course, tak terhitung berapa banyak pulsa aku habiskan untuk yang seorang ini. Hingga kalau diakumulasi, semua kalimat dirangkai sejak pertama dahulu hingga kini aku menulis cerita, sudah jadi novel tetralogi mungkin. Atau mirip seperti antologi puisi, atau kumpulan cerpen, atau himpunan kata-kata mutiara dan entah apa lagi namanya. Entah mengapa dia selalu membuatku ingin menulis, dan menulis lagi, dan menulis terus. Dia menarik sih masalahnya, dan tentu inspirasi yang tidak pernah berhenti, bahkan hingga kini dia telah membuat aku begini rupa-pun, dia masih menarik. Sumur zam-zam yang tak pernah kering buatku. Sampai kapannya aku tak tahu, hingga dia kemput atau matipun rasanya masih belum habis sebagai air zam-zam.

*

Baiklah aku ceritakan saja bagaimana pada mulanya terjadi, hingga begini rumit sekarang ini. Aku tak tahu benar siapa dia pada mulanya, tiba-tiba saja ada di depanku. Dan tentu saja sebagai mata keranjang sejati, philogynik kata Pram dalam Bumi Manusia, aku menyapai dia dengan basa-basi yang merajuk. Dan.. kena dia.
“Ahoi, cantik benar adhik. Siapa gerangan diri adinda, punya nama bagus barangkali? Kalau tak bagus juga tak mengapalah, toh nama tak berarti apapun dengan kecantikan adhik!”
Malu dia dapat kata-kata semanis itu, dikatakan cantik pula. Kelihatan dari wajahnya yang memerah, dan matanya yang agak melebar. Ahoi, mata yang sempurna dengan alis yang bagus, tak jauh beda denganku pada bulu matanya. Aku berani bertaruh, dia baru pertama kali ini dapat pujian seperti itu dari lelaki. Ya, lelaki tulen. Aku yang seorang mahasiswa Universitas Negeri, lulusan siswa sekolah menengah pada SMU kelas satu, datang dari SMP kelas satu dengan prestasi yang juga kelas satu. Seorang aktivis masjid pula, dan anggota suatu perkumpulan besar di negeri ini, walau cuma kelas pengikut teri pada satuan terkecil. Tapi orang tidak bisa menyangkal kalau aku datang dari kualitas yang berbeda. Terpelajar, full fasilitas, kutu buku, ahli retorika, jago rekayasa dan strategi, juga yang terakhir ini hehe.. menarik, cukup tampan untuk ukuran sebaya pada waktu itu pada mulanya. Ya pada mulanya… jauh tentu dengan aku yang sekarang ini yang telah masuk usia dewasa sepenuhnya pada seperempat abad ini. Kalau toh masih ada sisa yang menarik pada diri ini hanyalah pada mata dan bulu mata saja, tidak lebih dari itu. Mulai dari mata kebawah telah membengkak seperti Napoleon pada usia tuanya. Gemuk, gendut dan tambun. Biarpun begitu aku tak pernah juga kehilangan kelincahanku dalam semua hal. Mulai dari aktivitas organisasi yang sangat mobil dari kota A ke kota B, dari S ke P, kemana saja pada wilayah propinsiku. Hingga main sepakbola aku juga masih. Baca buku juga tak kurang habisnya. Menulis apalagi. Cuma ini yang aku telah kehilangan urat lincah sejak dia hadir dalam hidupku, kelincahanku menggoda wanita, suatu bakat yang sangat aku agungkan sebagai mata keranjang sejati. Hehe.. sebetulnya aku malu juga mengakuinya… dia memintaku untuk tobat!!! Pada mulanya terpaksa, sampai kemudian diri ini tak berdaya di depannya. Ya, dia telah menyerap semua kelincahanku sebagai lelaki penggoda. Dia yang seorang ini. Adhik kecil yang dulu aku sanjung dia dengan kalimat yang baru pernah dia dengar dari mulut lelaki, lelaki buaya di depan Masjid tua di kampungku, kampung T di kota P.
“Ehm..” dia malu dan ragu menjawab tanyaku. Tapi akhirnya keluar juga suara manis dari bibirnya yang cantik. “Emm.. Yanti.. Fajar Rubiyanti!” Oh God… dia berani menyebutkan namanya. Makin berani pula aku. Sebagai buaya darat sejati takkan kulepaskan dia. “Adhe Yanti rumahnya dimana? Barangkali dekat sini? Atau punya kakak yang saya kenal mungkin?”. “Lho.. mas Er ini gimana, saya kan adiknya Mbak Nina?” Oh Tuhan, terperanjat juga aku. Dia, kakaknya itu… aku naksir dia sejak SD, sepantaran aku memang tapi sebenarnya lebih tua satu tahun dariku. Dan, ah dia telah tahu siapa aku rupanya. Jadi aku ini bodoh ya, mengira diri telah kenal semua orang di kampung sini. Ah, bidadari secantik ini, masa terlewat dari mataku. Ah, barangkali aku saja yang terlalu gelap mata mengejar kakaknya. Hehe.. untuk menutupi malu dan kegagapanku aku kejar dia dengan protes yang asal-asalan. “Lho… bukanya adiknya Nina cuma dua orang saja, lelaki semua malahan. Oh.. jadi kamu ini adiknya Nina yang terakhir to..! Maaf baru tahu. Kelas berapa sekarang Dhe? Dimana sekolahnya?” makin berani saja aku menyerang dia. Ah, betapa lugunya dia, pandangan matanya yang bersih, air mukanya yang polos, seperti baru saja mengenal kehidupan di bumi manusia ini. Ah, dia seperti selembar daun yang terjatuh dari surga. Surely, dia lebih cantik dari Nina. Walaupun tak mungkir aku pernah berharap mencuri perhatian dari kakak perempuannya itu, tapi sebenarnya telah lama coba kuredam hanya karena hal yang sepele. Rambutnya itu. Ya, rambutnya ternyata keriting, ketika dia ketahuan melepas jilbabnya. Dan aku paling tidak nyaman dengan rambut keriting. Tambahan pula suaranya yang sember, makin tidak indah jadinya. Tapi ini, adiknya yang seorang ini, dia punya sesuatu yang berbeda dari kakaknya. Keluarganya tentu saja sudah sangat aku kenal. Bapaknya, guruku malahan waktu di SD. Keluarga yang terpelajar, berasal dari darah “Kyai”, ahli masjid dan ahli ibadah. Suatu type keluarga yang benar aku impikan. Jadi begitulah pada mulanya aku kenal dia…



*

*



“Kembang Perawan”
Gita Gutawa


Ketika surya menampakkan cahayanya
kugapai hari terangku
menanti sebuah cerita
yang pasti akan terjadi di diriku…
Kini kumulai mengerti artinya cinta
walau sangtetawaramu
hatiku mulai merasa
bila dekat lelaki akupun malu
Akulah kembang perawan
ingin mengikat rasa
perasaan pasti milik semua insan
Aku mulai jatuh cinta,
papa biarkanlah aku
menikmati semua anugrah hidupku


*



2


Baru pernah ku rasai hidup begini payah. Semuanya seperti saja mau meledak dalam kepala. Dan hatiku lebih remuk lagi dari kepalaku, tentu saja isi dalam ruang hatiku lebih acak-acakan lagi. Ah, malu aku pada diri sendiri. Terpuruk begini seperti enthung (ulat kepompong tanpa tulang). Tapi sekali ini mungkin boleh aku menyerah pada diriku sendiri.
Ada baiknya aku ceritai saja tentang semuanya di S pada kali terakhirnya. Segalanya selalu saja ada titik untuk bermula, sekeping waktu, seonggok tempat atau sederet cerita.
Lagi-lagi nomor itu. Ya, bermula dari nomor itu kiranya.
Nomor yang dulu selalu kuhubungi kini hanya aktif separoh waktu. Kini dia menghubungiku dengan nomor yang baru kali ini kukenal. Ya tentu saja, nomor itu. Barang tentu aku mulai curiga. Tapi tak pernah aku ambil pusing pada mulanya, toh sekarang aku masih sibuk pada setumpuk berkas yang harus aku rampungkan. Celaka benar orang-orang, bis yang aku pesan berangkat 2 jam lagi. Dan aku harus menyelesaikan laporan tanggapan Fraksi pada sidang pleno Dewan pada waktu kurang dari 2 jam itu. Ya, harus kurang dari 2 jam. Uhh. Selalu saja begini. Aku menggerutui pekerjaan yang kali ini waktunya tidak tepat. Pff. Selesai juga pada akhirnya, dengan sedikit penambahan dari opiniku dan “sengaja” aku arahkan pada situasi-situasi tertentu yang rawan konflik dan perdebatan. Biar tahu rasa mereka. Toh sekali ini aku kerjai Anggota Dewan itu tak mengapa. Hehe.. sementara mereka ribut, aku sudah ada di dalam bus.
Ah, benar juga perkiraanku. Bus yang aku pesan telah berangkat, hanya 10 menit sebelum aku tiba. Ah, sial! Yah, bus kecil pun tak apalah. Aku harus mengejar waktu sebelum Ashar tiba di S. Kali ini aku harus berangkat lagi. Untuk sedikit urusan kerja, pergerakan dan tentu saja jumpa dengan Y. Y waktu itu, dengan nomor itu mengabariku tentang suatu peristwa yang menimpanya. Sebuah kecelakaan kecil yang buntutnya berakibat besar, paling tidak aku yang paling akhir kena imbasnya.
Y, waktu itu entah apa yang dilamunkannya, membelok dengan sepeda motor di depan rumah pemondokan. Dan takdir mengharuskan dia tertabrak, cukup kencang dari samping, dengan pengendara seorang anak SMU. Tak usah heran, anak SMU memang mana pernah naik motor pelan. Dan terjadilah kecelakaan itu. Y pun terluka cukup dalam di betis kanan. Dan dia harus berjalan dengan tongkat.
Sepeda motornya sendiri entah dimana. Digarasi katanya. Sudah lama dia tidak pakai. Rusak katanya. Tapi entah dimana rusaknya dia tidak tahu, mungkin tahu juga, tapi sedang tidak mau tahu. Jadilah dia memakai sepada yang lain. Sepeda baru milik seorang teman pemondokan, kebetulan satu tempat praktek dengan dia. Teman itu aku juga sangat kenal. Alina, anak baik yang terlalu baik untuk anak sebayanya. Alen, demikian biasa aku panggil, anak seorang petani di Ngadirejo, Temanggung. Kali ini, hasil panenan tembakaunya bagus, orang tuanya membelikan dia sepeda motor baru. Ya, sepeda motor baru yang sudah harus bernasib buruk, kecelakaan dalam usia yang terlalu dini. Kelanjutan nasib sepeda motornya Alen sendiri aku tak tahu benar, cuma kabarnya sudah bisa dipakai lagi ala kadarnya, tentu setelah diperbaiki dengan biaya yang tidak sedikit. Ya, kecelakaan, dan kepastian-kepastian lain yang telah terjadi dan tidak bisa dihindari oleh manusia manapun. Suatu hal yang biasa dalam kehidupan manusia bukan?
Aku tak tahu pastinya. Aku orang keberapa atau lelaki keberapa yang dia kabari tentang kecelakaan itu. Juga aku tak mau ambil pusing dengan urutan atau penomeran model begitu. Ini saja kepastian buatku. Menurutnya, aku termasuk salah seorang yang harus tahu tentang hal yang dialaminya, peristiwa menghebohkan itu. Walaupun cuma sekeping peristiwa bernama “kecelakaan bermotor”. Tapi toh tetap peristiwa yang mengharuskan perhatian dan empati. Toh juga tidak tiap hari tentunya orang mendapat celaka. Sekecil apapun, peristiwa buruk, apalagi kecelakaan, tetaplah anak-anak dari orang tua bernama bencana dan musibah. Ya, musibah yang membawa bencana. Paling tidak buatku. Mungkin juga untuknya.
Aku masih ingat betul. Ini hari Senin. Hari dimana kantor tempatku bekerja selalu banyak urusan. Aku sebenarnya sudah mengajukan cuti sejak Sabtu sebelumnya. Tapi rupanya aku masih dibutuhkan hingga Senin. Ya, harus Senin rupanya. Dan tidak bisa ditawar lagi aku kali ini memang harus ke S. Apalagi mendengar berita kecelakaan Y. Aku memang tidak bereaksi berlebihan kali pertama mendengar berita itu, apalagi katanya dia baik-baik saja. Tapi kecelakaan, sebaik apapun tetap hal yang buruk. Aku cuma tahu, bahwa aku harus ke S secepatnya, melihat keadaan Y dan membantunya disana. Dan itu berarti aku harus merampungkan pekerjaan secepat yang aku bisa, malah kadang juga dengan pekerjaan untuk minggu depan biasanya. Aku selalu bisa mengatur waktu dan pekerjaan jika ada sinyal harus ke S. Itu berarti aku harus cuti minimal 3 hari, bahkan bisa lebih. Pernah juga aku sepekan, bahkan sepuluh hari. Ya, Y lah yang membuatku betah berlama-lama di S. Apalagi jika Y sedang repot dengan urusan kuliah, laporan, profesi atau kegiatan pergerakan di organisasi. Jadilah aku partnernya yang pokok di S. Bukan partner yang baik barangkali. Tapi aku sendiri sudah merasa bahagia bisa sedikit membantunya di S. Ah tidak juga, seringkali akulah yang merepotkan dirinya. Belakangan itu malah yang kusimpulkan dari banyak kehadiranku di S. Y tidak pernah bilang soal itu padaku. Aku tahu itu malah dari sasus orang lain, bahwa dia belakangan mengadu pada orang tuanya tentang aku di S yang seringkali merepotkan, lebih jauh; membuat dia sakit pada akhirnya. Entahlah mana yang benar. Benar semua mungkin. Atau salah semua mungkin. Atau tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Seperti “nihilisme murni” Nietszche saja hal ini. Ini saja yang aku tahu dari pengetahuanku membaca, “seorang terpelajar haruslah selalu bersikap adil sudah sejak dalam pikiran”. Jadi benar dan salah adalah pada bagaimana kita melihat sesuatu soal dengan adil sejak pada mulanya. Ya sudah adil sejak dalam pikiran tentu. Kita tidak bisa menjadi hakim pada soal yang kita belum tahu kebenarannya. “Kesan pertama, walaupun penting, belum tentu benar, Minke!” kira-kira begitu potongan kalimat dalam Bumi Manusia-nya Pram.
Tentang menjadi partner yang buruk itu? Ah, jadi teringat pada film Mr. & Mrs. Smith. Suami istri pasangan intelijen dan agen pembunuh yang bekerja untuk dua agency yang berbeda. Bertemu pada operasi yang sama, jatuh cinta, menikah, kemudian saling membunuh. Romantisme tragis orang bilang.
Suatu kali, mungkin berkali-kali, aku membuat Y gondok setengah mati. Waktu itu aku jemput dia. Aku menunggu di ruang dalam selama satu jam. Tapi dia juga menunggu aku di luar kurang lebih juga satu jam itu. Wal hasil dia pulang sendiri ke pemondokan dengan sangat gondok dikira aku tak menjemputnya. Aku pun susul dia ke pemondokan dengan gondok juga, dikira dia juga pulang sendiri tanpa menunggu aku.
Hehe.. Sering pula aku terlambat mengantarkan dia. Selalu saja aku bangun kesiangan, dan pagi-pagi selalu saja kita jadi Valentino Rossi, membalap motor di jalanan kota S. Maksudku selalu baik, ingin membantu dia. Tapi tak selalu maksud baik menjadi kenyataan yang baik. Pernah juga dia menunggu aku hampir dua jam di pemondokan, hehe.. kali ini aku ketiduran. Suatu alasan klasik yang dia tidak pernah bisa menerimanya, walaupun itu adalah hal paling jujur buatku. Aku memang punya kebiasaan buruk, sering saja ketiduran dan selalu saja bangun terlambat. Oh, ya.. juga sering sekali kelupaan. Tidak hanya di S, di P-pun aku juga biang ribut di keluargaku. Biasa, soal antar jemput juga. Ya, persoalannya sama juga. Terlambat bangun, dan terlambat menjemput. Bakat ini sudah mulai kurasakan sejak TK malahan, suka tidur dan susah bangun. Dan mulai menjadi kebiasaan yang serius ketika SMU dulu. Aku selalu saja paling malas bangun dan paling sering terlambat masuk sekolah. Bahkan aku pernah dipanggil guru BK hanya gara-gara soal terlambat itu. Aku tak mengira, akulah pemecah rekor kartu terlambat paling banyak di sekolahku. Gila memang. Semasa kuliahpun begitu… beruntung Dosen tak pernah bermasalah dengan sikapku. Karena dosen sendiri juga seringkali terlambat. Ah, sering aku merasa kasihan dengan Y, karena kebiasaanku yang buruk ini. Ah, belum lagi jika sikap “bodoh” dan “gila”-ku kambuh. Betapa tersiksanya dia dengan sikapku yang satu ini. Mungkin orang tak perlu tahu kalau aku dijuluki “Mr.Bean” di sekolahku. Dan dipanggil “Dakim” di rumahku. Orang juga tak perlu tahu, kalau panggilan pertamaku di hari pertama aku masuk SMU adalah “pisang goreng”.
Jadi begini ceritanya. Hari itu pelajaran pertama adalah Geografi. Dan guruku lupa membawa Globe. Maka disuruhnya aku dan temanku yang duduk di bangku paling depan untuk mengambil di ruang guru. Perlu diketahui aku duduk di bangku paling depan bukan karena aku rajin sekali, atau ingin cari perhatian guru. Justru bangku depan adalah bangku yang paling menyiksa, karena langsung berhadapan dengan meja guru. Jadi aku dapat bangku depan sebelah pojok, jelas bukan karena keinginanku atau semangat belajarku yang tinggi. Tapi lagi-lagi karena hanya itu bangku yang tersisa buatku. Ya, soal yang biasa, aku siswa yang paling akhir datang di kelas pertamaku.
Baik kulanjutkan ceritanya. Jadi aku dan temanku mengambil Globe di ruang guru, terus entah kenapa temanku itu timbul pikiran lapar dan perasaan ingin jajan di kantin yang kami lewati. Mulanya aku tidak tertarik, tapi setelah dia makan, aku juga tak kuat menahan perasaan. Akhirnya aku ikut makan juga. Guruku tentu memerlukan memeriksa kami yang terlalu lama keluar. Dan, apa mau dikata, kami kepergok pak guru di kantin itu. Beruntung temanku sudah selesai makan. Celakalah aku yang kedapatan sedang makan pisang goreng. Maka kubuang saja pisang yang tersisa di tanganku. Tapi, eit.. guruku menahannya. Katanya, “Jangan dibuang, kan sayang membuang makanan. Dihabiskan di depan kelas saja Mas, sambil berdiri.”. Ya, tentu saja. Grr… Aku jadi tontonan yang mengasyikkan di depan kelas. Sepagi itu, di hari pertamaku masuk kelas, aku sudah bertingkah tolol. Makan pisang goreng di depan kelas sambil berdiri. Ya, sejak saat itu semua orang dikelasku memanggil aku dengan “Pisang Goreng”. Prek. Cuek aja. Pikirin amat. Untung aku lelaki yang tahan banting.
Entahlah, sebenarnya ketololanku itu juga seringkali tanpa sengaja tentunya. Tapi tetap saja peristiwa tolol adalah hal konyol yang dilakukan oleh orang bodoh atau gila barangkali. Begitulah orang mengatai aku. Pernah juga minggu pertama aku masuk SMP di P, “kecelakaan”. Tidak main-main, lawanku adalah truk. Ya, dari jenis tronton, gendengan pula. Gila, kan? Aku waktu itu, hari pertama masuk SMP, terpilih sebagai anggota gerak jalan Agustusan mewakili sekolahku. SMP favorit di kota P. Setiap sore aku berangkat latihan gerak jalan. Di suatu sore yang cerah, di hari Sabtu, kesialan itu menimpaku. Karena prestasiku sebagai juara kecamatan waktu SD, hingga tanpa kesulitan masuk di SMP P, rupanya membuat orangtuaku bangga bukan kepalang. Tak tanggung-tanggung, sebagai hadiah aku dibelikan sepeda gunung jenis terbaru, model terbaru, dari merek yang paling mahal. Aku sendiripun heran dengan sepeda itu. Ada operan giginya di setang, ada rante dobel dan gir yang bersusun-susun di sebelah depan maupun belakang. Velg-nya alumunium pula. Ringan betul sepeda ini. Jauh benar dari sepeda kakekku, sepeda model unta. Atau sepeda jengki karyawan percetakanku.
Di sore itu aku dengan gagah berangkat latihan ke SMP memakai sepeda baru jaman modern. Swiiir.., swiir...! Begitu bunyi genjotannya. Sangat cepat dan ringan. Tertarik betul aku dengan sepeda ini. Tepat di depan bioskop Rajawali, ditengah keasyikanku memainkan persneleng dan gigi, aku tak lihat depan jalanku. Aku sibuk mengamati di bawah, bagaimana rante sepeda bisa pindah naik turun dengan cepat. Dan, Gubrak..!!! Busyet, masya Allah! Aku menabrak truk tronton gandeng yang sedang parkir di sebelah jalan. Sampai roda depan sepedaku terlipat menjadi angka delapan. Wah, kencang juga aku menabraknya. Aku pulang balik dengan becak dan sepeda baru yang bernasib malang, terlipat jadi angka delapan di roda depan, rante yang putus, dan ban belakang yang menjotho (keluar seperti mau meletus). Dan, ributlah seisi rumah.
Sewaktu SD, bakat isengku juga sudah tumbuh. Sewaktu pulang dari sekolah, siang hari terasa panas benar olehku. Capek, haus dan lapar. Tumben, aku menyetop becak. Padahal jarak rumahku tinggal 100 meter saja. Wuih, asyik juga pulang sekolah naik becak. Sekali ini aku memanjakan diriku tentu bolehlah. Tapi tentu itu hal yang aneh bagi Ibuku ketika mendapati aku pulang diantar becak. He..he… sekalian saja aku kerjai Ibuku. Waktu itu aku kelas 4 SD, sudah punya bakat “tolol” rupanya. Aku bilang pada tukang becak itu, “Pak, nanti kalau sudah sampai depan rumah, tolong aku dibopong dan bilang kalau aku kecelakaan. Nanti aku juga akan pura-pura pingsan Pak, gimana?” Dan bodohnya, tukang becak itupun menurut saja diperintah demikian. Benar juga. Sampai di depan rumah, kehadiranku sendiri dengan becak sudah menarik perhatian tetangga. Dan benar juga, tetanggga langsung mengerubuti rumahku, tahu aku dibopong ke dalam oleh tukang becak. Wow..! Ibuku pucat setengah mati rupanya. Dan tepat ketika Ibuku hampir pingsan, tiba-tiba aku berdiri dan bilang, “Waa… tidak apa-apa kok! Cuma boong-boongan aja. He..he…” Ibuku marah setengah mati padaku dan tukang becak itu. Kelak tukang becak itu jadi tukang ojekku yang setia kalau aku pulang dari S. Ya, masih tetanggaku juga, orang dari grumbul Pucungrungkad di kampung T. Dan selalu saja, aku dan tukang becak itu mengenang peristiwa 15 tahun silam. Setiap aku naik becaknya, kita berdua, ya.. cuma ketawa cekikikan saja kerjaannya. Pff.. capek juga aku menceritakan barang begituan. Tobat deh..!


*
*

“Manusia Bodoh”
Ada Band

Dahulu terasa indah…
tak ingin lupakan
kemesraan slalu jadi satu kenangan manis
tiada yang salah hanya aku manusia bodoh…
yang biarkan semua
kini permainkanku terulang-ulang kali
Tak ayal tingkah lakumu
buatku putus asa
kadang akal sehat ini tak cukup membendungnya
hanya kepedihan yang slalu datang menertawakanku
kau belahan jiwa
tega menari indah di atas tangisanku
Coba bertahan sekuat hati
layaknya karang yang dihempas sang ombak
temani hidup dalam buai belaka
serahkan cinta tuus di dalam takdir…
Tapi sampai kapankah kuharus menanggungnya
kutukan cinta ini
bersemayam dalam hati
Semua kisah pasti ada akhir yang harus dilalui
begitu juga akhir kisah ini
yakin ku indah…
*
3



Yan, kaupun tahu
aku takkan pernah berhenti berlari
Hingga rintik hujan yang basahi bumi
dan air mata dari keringat matari

Sungguh aku tak mempercayai takhayul bahwa suatu akhir yang buruk diawali oleh hal yang buruk pula. Hari Senin itu, hari yang sama ketika aku dilahirkan, tampaknya bukan hari peruntunganku. Bah, seumur hidup aku tak akan pernah percaya pada takhayul perbintangan, zodiak ataupun heroscope orang bilang, ataupun fengshui, atau segala kitab primbon mulai dari jenis Betaljemur, Adamakna, Darmogandul ataupun Gatoloco. Meskipun ada kebenaran di dalamnya barang satu atau dua persen, tetaplah “konyol” menggantung diri dan hidup pada barang begituan. Setiap manusia, mempunyai kuasa untuk berbuat bagi dirinya. Kebajikan ataupun keburukan. Manusia sendirilah yang menentukan kejayaan atau kebinasaannya. Ya, bagiku hidup ini adalah keberanian. Berani untuk hidup, menanggungkan segala persoalan, walaupun getir pada akhirnya. Meskipun kenyataan seringkali tidak sesuai harapan. Walaupun asa berbalik belakang dengan cita. Walapun bahagia selalu dirampas derita. Tapi bukankah arti hidup adalah pada usaha, terlepas dari takdir yang menimpa. Dan selalu saja takdir menari-nari diatas manusia. Ya, cukuplah kapasitas manusia dalam hidup sekedar itu, berusaha sesungguhnya, semampunya, sedapat dia bisa, kalau perlu sampai titik yang penghabisan. Tapi Tuhan jugalah penentu semua-mua di dunia. “…innalloha ‘alaa kulli syaiin qodiir...” Sesungguhnya Tuhan berkuasa atas segala sesuatu. Ya, bukan Tuhan namanya kalau tidak begitu. Untuk apa pula jadi Tuhan kalau tidak berhak menentukan segala. Pada akhirnya sebagai manusia yang tahu diri, ya.. kita manut saja pada Tuhan. Guruku bilang, nilai hakikat tertinggi dari ikhtiar manusia adalah keikhlasan pada takdir Tuhan. Jadi, ketika kita sedang berusaha, maka sesungguhnya kita sedang belajar ilmu hakikat. Ilmu sufisme tertinggi, ilmu ikhlas. Tawakaltu alallah. Berserah diri pada Allah, Yan!
Hari itu sungguh tidak nyaman perjalanku dari P ke S. Jelas kesialan ini tidak ada hubungannya dengan hari lahirku. Ya, kurang beruntung saja kiranya. Tapi manusia yang bijak kata Guruku, adalah manusia yang bisa menyikapi penderitaan dengan kelapangan dada. Atau dalam Injil ada disebutkan, “…dalam keadaan yang sulit kita harus tetap tenang.” (Horatius). Ya, seburuk apapun situasi, aku selalu belajar untuk tetap bahagia. Tidak munafik, sangat sulit memang. Y sendiripun kesalnya minta ampun ketika aku mulai menggerutui segala di S. Mulai dari cuaca yang panas, udara yang kotor, bising jalanan yang sumpek dan semrawut, makanan yang tidak enak, antrian yang panjang di tempat bensin, nyamuk di malam hari, motor yang selalu mogok di tanjakan, bla-bla-bla, dan masih banyak lagi. Tapi, semuanya selalu saja menjadi nyaman ketika ada Y disampingku. Apalagi kalau sudah minum Jus Merdeka di Ngesrep. Waah.. merdeka betul segarnya!! Lupa deh, semua penderitaan di S. Y, suka sekali pada Jus itu. Bahkan rakus betul dia pada menu yang satu ini. Jus Alpokat. Dua, atau tiga gelas pun dia pasti sikat. Dan aku suka sekali melihat pada raut mukanya, ketika Y dengan khusyu meminum jus itu. Wajahnya seperti menyiratkan kepuasan yang tidak terkira, bahkan seperti tidak peduli suatu apapun ketika sedotan telah menempel di mulut. Sruput…, sruput…, grook…, ah…, segar! Dan lidahnya selalu menjulur keluar ketika selesai pada sruputan terakhir. Dan bibirnya selalu berkecap-kecap seperti tidak rela ada satu tetespun yang tersisa di bibir. Ya, itulah Y. Manis dia, betapapun sedang “kacaunya”.
Jadi memang tidak mudah belajar menjadi Sufi. Harus qonaah, “nrima ing pandhum” guruku bilang. Atau seperti Dale Carnegie bilang, manusia yang bijak adalah manusia yang murah hati dalam penerimaan. Sebagai manusia aku tentu tertarik untuk menjadi ideal, menjadi manusia bijak seperti yang diharapkan. Walaupun selalu saja harapan itu kandas, dan kandas lagi. Tapi aku juga tak pernah jera tuk mencobanya, walaupun kandas lagi dan kandas lagi. Dan selalu pula mencoba lagi, dan mencoba lagi. Seperti kata Ahmad Dani saja (entah dia sendiri mengutip dari mana), “Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti”. Never ending struggle begitu bahasa Belandanya.
Kembali ke laptop…, begitu Tukul bilang, he..he! Kali ini aku kena tipu calo terminal, ya temanku sendiri tentunya. Tetanggaku, depan rumahku malahan. Ah, sengaja betul dia mengerjai aku. Ah, mungkin juga terpaksa karena mengejar setoran. Dendam lama padaku? Ah tidak mungkin. Dia selalu baik padaku. Dan aku selalu baik padanya. Bahkan ketika dia mabok-pun, aku traktir dia makan bakso. Aku juga tak pernah menolak ketika dia minta diantarkan ke terminal lama, ke tempat warung favoritnya di Kampung Dayak, warung rica-rica anjing dan sate ular. Ah, lupa barangkali dia pada rute perjalanan.
AP, “Arif Pathek” temanku itu berasal dari keluarga eksodus di kampung K. Kampung bekas terminal dulunya. Sekarang kampung itu, kota lama orang bilang, telah disulap jadi daerah pertokoan yang ramai, baik supermarket maupun kakilima. Annelies sekarang bekerja di salah satu Supermarketnya, M. Kehidupan didaerah itu seperti tak pernah berhenti. Mulai dari pagi buta orang jualan kambing, siang yang hiruk pikuk oleh pedagang dan kendaraan, dan malam hari yang selalu hidup oleh orang-orang teler dan main judi, juga psk tentunya.
Hampir semua kompleks depan rumahku di kampung T, berprofesi sebagai calo, pengamen, preman, dll. Macam-macam daerahnya. Ada yang di terminal baru, terminal angkutan Kebondalem dan Baturaden. Malah tempat itu dulunya lebih mirip kompleks mafia. Maka jangan heran dengan pemandangan ini, mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek, seringkali kedapatan duduk bareng main judi. Di komplek itu juga ada buron besar, langganan polisi. Dia, S, merupakan bekas pembunuh bayaran yang sekarang punya pabrik Bir oplosan. Orangnya baik padaku. Waktu perayaan tujuhbelasan, selalu ada panggung hiburan dengan menu goyang dangdut massal dan berpuluh-puluh krat minuman keras. Paginya, di hari kemerdekaan, mereka masih pada tidur di panggung dan pinggir-pinggir jalan. Tapi, biarpun begitu anak-anak kecil mereka tetap diwajibkan mengaji oleh orangtuanya. Juga ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal, mereka wajib mengadakan tahlil. Dan bukan kebetulan kalau temanku itu, meski “preman”, tetap bernama Islam “Arif”. Cuma karena dia pernah kena penyakit gatal, sst.. sipilis katanya, dia diberi nama belakang “Pathek”
Bus yang seharusnya aku tumpangi sampai ke S malah berhenti di W. Ngaco memang! Yah, apa boleh baut, eh buat, turun juga aku akhirnya. Menunggu bus berikutnya jurusan langsung ke S adalah ide bodoh. Aku tahu betul berapa jumlah bus ekonomi yang masih beroperasi dari P ke S dan jam berangkatnya. Sedikit sekali, tak ramai seperti jurusan S ke Y ataupun S ke Sl. Bus-nya pun jelek-jelek, juga sering mogok. Bangkrut mungkin bisnis transportasi sekarang ini. Ya, ekonomi belum juga membaik sejak kejatuhan rezim yang lalu, pun ketika selalu saja berganti-ganti penguasa setelahnya. Selalu saja, BBM naik terus. Makin mahal pula barang kebutuhan pokok, apalagi onderdil mobil. Patut memang usaha bus gulung tikar. Tapi biarpun begitu, tetap tak ada yang menutup usaha. Masalahnya jelas, supir-supir dan kondektur juga butuh makan. Juga anak-anak dan istri mereka. Siapa pula yang akan mengurus mereka kalau mata pencahariannya hilang. Negara? Bah!! Sambar gledek, bisa apa negara buat memakmurkan rakyatnya. APBD dan APBN selalu saja soal tentang “berapa besar yang akan masuk kantong pribadi”
Jadi aku menyetop bus kecil ke Sc. Soal tetap bahagia pada situasi yang tidak menyenangkan? Aku setuju itu. Situasi kini malah berbalik. He..he.. kebetulan jam itu adalah jam sekolah selesai. Busyet! Sepanjang jalan banyak betul cewek-cewek ABG pada mengantri. Dan, ahoi… ada cewek cantik duduk disebelahku. Kelas satu mungkin. Masih sangat muda dan sedang mekar-mekarnya. Ehm… jelas ini satu-satunya hiburan dalam perjalananku yang “kacau”.
Dari Sc aku menyetop bus besar ke S. Tiap sepuluh menit selalu saja ada bus yang lewat di jalur ini. Jalur yang ramai memang. Wajar saja, antara S ke Y ataupun S ke Sl adalah jalur bisnis dimana ekonomi di kota-kota sepanjang jalan selalu saja ramai bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Ini memang warisan sejarah, sejak jamannya Deandles atau lebih tua dari itu pada jaman Demak dan Mataram. Jaman Kompeni dahulu, di jalur ini, jalan besar dari Y ke S terkenal sebagai jalur perdagangan yang ramai, dengan kurang lebih ada 40.000 kuli batur sepanjang jalan. Menurut tesis Ong Hok Ham, kuli batur ini merupakan manusia nomaden yang tidak bertempat tinggal dan tidak berpakaian, hanya mengenakan cawat dari kain saja. Mereka adalah para pelarian kerja rodi ataupun desertir tentara Kompeni atau Mataram, atau para buron yang sedang menyamar. Mereka bekerja sebagai kuli pembawa barang atau pendorong gerobak. Ketika punya sedikit uang mereka akan berjudi dan minum-minum. Tidak jarang pula merampok.
Lain dengan jalur S ke P, adalah jalur agraris yang tidak menarik untuk bisnis trasnportasi.



*





*
Cahaya Bulan
Ost : Gie

Perlahan sangat pelan
hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam
mesra menyambut sang petang
Disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Perlahan sangat pelan
hingga terang kan menjelang
cahayanya yang besar mencuat runtuhkan bayang
disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
Cahaya bulan menusukku, dengan ribuan pertanyaaan
yang takkan pernah kutahu, dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
membangunkan ku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban, Kegelisahan hati
Terangi dengan cinta di gelapku
ketakutan melumpuhkanku
Terangi dengan cinta di sesakku
di mana jawaban itu…

*
4

Ah, terlambat aku sampai di S. Ba’da ashar yang aku maksudkan tentu saja bukan maghrib. Pukul 16 atau 17-an lah seharusnya. Tapi seperti apapun waktu tidak bisa dikejar atau dibalik lagi. Supir bus itu tentu mana tahu kalau aku sedang terburu-buru. Ya, diriku sendiri saja yang bodoh. Ah, seandainya aku tidak harus menyelesaikan pekerjaan di kantor itu. Ah, seandainya bus tidak dioper di W.
Maghrib tepat aku sampai di depan patung pertigaan. Rekan-rekanku sudah barang tentu menunggu sejak sore tadi, jam 15 malahan. Ya, aku ada janji audiensi dengan seseorang. Seorang pejabat teras untuk keperluan organisasi. Suatu audiensi yang terlambat dan proyek itu sendiri tertunda pada akhirnya. Ya, salah satu korban ketidakberdayaanku. Korban diri yang menyerah dan tak bisa barang sedikitpun tuk berbuat. Seperti daun jatuh pada akhirnya…
Akupun tahu Y, mengadakan rapat di kantor yang sama. Ketua panitia malahan pada suatu acara perkemahan, “Kemah Pelajar” di kota B untuk bulan depan. Y, dengan kondisi kaki yang belum sembuh, harus dibantu dengan tongkat. Kondisi kesehatannya sendiri tampak belum pulih benar. Juga shock secara psikologis, trauma “kecelakaan” itu tentunya belum hilang. Kali ini Y berangkat dari pemondokan dijemput oleh temannya dari Tembalang. Memaksakan diri berlebihan kiranya Y. Tapi dia tentu ingin menunjukkan tanggungjawabnya, sekaligus pembuktian dirinya. Apalagi ini tugas pertama dia sebagai pengurus. Pengurus Propinsi, tidak tanggung-tanggung. Aku sendiri yang memasukkan namanya. Tentu aku ingin melihat Y berkembang jauh, dengan pergaulan yang lebih luas dan pengalaman yang bertambah. Y, aku memperhatikan betul perkembangannya dari sisi ideologis. Ya, dalam bahasa pergerakan, dia adalah kader. Kader ideologis yang sangat menjanjikan. Jika lancar, dia masih bisa naik tingkat sampai level tertinggi, Jaringan Pengurus Pusat. Kali inipun dengan posisi koordinator seksi dalam Pengurus Wilayah adalah hal yang langka di kotanya, kota P, apalagi kampung T. Baru pernah tahun ini 3 orang teman termasuk aku, masuk jauh pada Propinsi
Baiklah, aku ceritai saja tentang Y. Dia pada mulanya di kampung T, di kota P, hingga akhirnya terdampar di kota S. Balik lagi ke P mungkin. Ya, kampung T lagi juga pada akhirnya…
*
Y kecil adalah anak kecil sebagaimana anak-anak lainnya. Tumbuh secara normal dalam keluarga yang baik dan pada lingkungan yang baik pula. Dengan 3 orang kakak yang tentu sayang betul padanya. Semasa kecil dulu, sangat kecil waktu itu, dia adalah pusat perhatian dalam keluarga. Bayi mungil yang terakhir, gadis balita yang menggemaskan. Hingga tumbuh jadi anak-anak yang penuh ceria dan bahagia. Ditimang Nenenda waktu bayi tentunya. Diajarkan agama dengan lembut dan kasih sayang oleh Kakenda. Y, kecil masuk Madrasah Diniyah juga pada akhirnya. Suatu kewajiban bagi anak-anak di lingkunganku pada waktu itu, sebelum jaman gila seperti sekarang.

*
Semester pertama masuk kuliah aku waktu itu, Y kelas 3 SMP di kampung sebelah. Hari ini Minggu, Ahad orang Islam bilang. Pagi betul aku dibangunkan oleh tukang adzan di masjidku. Masjid tua yang kini tinggal puing belaka.
Usai Shubuh, seperti jaman Jepang saja, kami melakukan “Taiso”. Senam pagi tentunya, SKJ guru SDku bilang. Inen, kakak Y, seksi senam pagi di remaja masjid kami mulai menyalakan tip. Dan Dedy Gondrong, ketua Remaja Masjid kami segera memimpin acara. Dan seperti komandan “Daidanco” dia memberikan aba-aba.
“Semua kumpul di halaman!” bentaknya dengan suara yang dibuat-buat. Seperti bebek digiring, kami menurut saja.
“Anak lelaki di sebelah kiri, yang perempuan di sebelah kanan. Siap Grak! Rentangkan tangan grak! Berhitung mulai!”
Aku berdiri paling kiri segera berhitung, “Satu!” “Dua!” “Tiga!” begitu seterusnya teman-temanku melanjutkan. Ya, kami boleh berbangga. Mungkin ini salah satu perkumpulan remaja Masjid terbaik yang pernah ada. Bayangkan saja, anggotanya ada 150 orang. Mulai dari anak SD, SMP, SMA, Mahasiswa, pengangguran, anak putus sekolah, tukang teler, sampai bekas preman-pun ada. Mirip seperti penampungan manusia korban bencana Masjidku. Kalau malam Minggu, pasti ramai betul. “Rapat” begitu bahasa kerennya. Kami punya lapangan olahraga di sebelah Masjid, yang kami bangun sendiri. Ada lapangan Badminton, Basket dan Tenis Meja. Tiap malam, setelah selesai rapat, anak-anak SD pada bermain “Go Back to Dor” hingga berisik sekali. Masjid kami dekat sungai memang, terpencil di pojok, hingga teriak sekeras apapun tak bakalan ditegur tetangga. Dan malam itu seperti baru lepas dari pingitan, anak-anak bermain, sampai teriak-teriak sepuasnya. Begitulah adat kami dulu.
Pun begitu, dalam semua jaman di manapun, selalu saja ada “penyimpangan”. Manusiawi juga sebetulnya. Ada saja yang malah “pacaran”, mojok di teras Madrasah, anak SMP malahan. Gila juga anak semuda itu. Hingga pada akhirnya kami kewalahan. Hamil juga akhirnya yang perempuan. Kelas 3 SMP. Anak lelakinya, adik temanku sendiri. Temanku waktu SD, Tomy, gitaris jagoan dia sebetulnya. “Boing” adiknya itu juga mewarisi bakat kakaknya juga. Sempat juga dia jadi komandan Group Rebana di remaja masjid kami. Ya, setelah “kecelakaan” itu, hari depannya makin tak karuan saja. Dia sekarang jadi tukang ronda tiap malam di kota P, di daerah Kebondalem sana. Ya, anak semuda itu.
Ah, betapa banyak “undercover story” di kampungku. Juga remaja Masjid kami. Betapa banyak anak-anak yang pada suka satu sama lain. Ada yang baik-baik saja. Tapi ada beberapa yang “tidak baik-baik saja”. “Kecelakaan” suatu kata yang sudah bisa mewakili makna bagi semua yang mendengar. Semua orang tahu apa arti dari “kecelakaan”. Itu juga yang membuat kami tahu diri, membubarkan diri satu persatu dengan tanpa komando. Itu pilihan terakhir kami sebelum dibubarkan seperti kumpulan ternak.
Aku dan Y, juga bermula dari itu. Dari sini sebetulnya cerita itu dimulai. Ya, remaja masjid kami, “Pergerakan Remaja Islam Baitul Mutaqqien”. PRIBUMI kami menamainya. Aku juga yang merancang namanya, dan temanku yang membuat logonya.
Jadi dari sinilah segalanya bermula. Tentang aku dan Y. Bermula dari masjid tua di kampung T. Pergi jauh kami setelah itu, berkelana hingga banyak kota, di S terutama. Dan kini kami akan kembali pada tempat kami bermula. Ya, kampung kami lagi, masjid juga pada akhirnya. Tapi tidak yang dulu barang tentu. Masjid peninggalan kami itu telah diganti, bukan dirubah, tapi telah diganti dengan masjid baru yang lebih megah, lebih mewah, lebih indah, lebih besar, lebih dari semuanya di jaman modern ini.

*

Aku dan Y duduk di halaman depan masjid. Mulai mengakrabi kami satu sama lain, tanpa ada perasaan macam-macam pada mulanya. Tak tahulah bagaimana perasaan kami waktu itu. Yang pasti aku sudah mulai tertarik padanya. Dan dia juga ada barang sedikit, kagum mungkin padaku.
Tahun itu tahun 1999. Awal tahun pergantian milenium yang hiruk pikuk. Awal perang dunia baru. Awal jaman modern kedua, setelah abad lalu dengan revolusi industrinya. Sekarang ini semuanya berlanjut dan berujung pada kapitalisasi. Modal yang menghasilkan keuntungan berlipat. Untuk terus saja membikin pabrik baru, tenaga kerja baru, sumber produksi baru, lahan baru, pemerasan baru, undang-undang baru, perang baru, perbudakan baru, penjajahan model baru, dan keuntungan baru untuk para pemodal dan koloni birokrasi di tiap negara. Negaraku barang tentu juga termasuk. Malah lahan empuk buat segala jenis kejahatan modern. Pembalakan hutan, penjarahan emas di Freeport, penjarahan karet oleh Caltex, penipuan minyak oleh EPSON, pencurian ikan oleh pabrik kapal sarden Cina dan Jepang, tempat sampah industri Eropa, tempat berak artis Hollywood dan Bollywood, tempat aman menggelapkan pajak dan cukai, pasar bagus untuk barang bajakan, konsumen terbesar untuk ganja dan obat-obatan setan, tempat empuk untuk menjarah uang bagi para penguasa baru yang silih berganti naik tahta. Hoek! Cuh! Mual rasannya hidup dengan kenyataan itu. Kadang malu juga menyebut diri ini sebagai manusia Indonesia.
Y dan aku masih duduk pagi itu di serambi masjid. Melihat pada teman perempuan yang mencoba-coba sepeda motorku, yang baru kali pertama ini dinaikinya. Dan, wuss! Dia masuk pada pagar tanaman di depan masjid. Ketawa kami semua melihatnya. Hutri nama teman itu. Ya, tidak mengada-ada, namanya memang HUTRI. Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Dia lahir pas tanggal 17 Agustus. Hari dimana Republik ini didirikan dulu oleh nenek moyang pahlawan bangsa. Nenek moyang yang merupakan cikal bakal terpelajar bangsa ini. Dulu, jaman pergerakan silam, jaman politik balas jasa Hindia Belanda, dimana pribumi mula-mula boleh bersekolah. Jamannya Minke (protagonis-nya Pam) mungkin.
Y sendiri juga kebetulan lahir sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus, 23 tahun silam. Tanggal itu, selalu saja aku memberi kenang-kenangan dan hadiah untuknya. Pernah juga terpikir memberi barang 1 buah bendera dan tiangnya sekalian. Hehe..
Pagi itu, kami baru selesai “kerja bakti”. Suatu ritual yang rutin kami lakukan tiap Ahad pagi setelah “taiso”. Komandan kerja bakti itu, “Murja” biasa kami panggil demikian dengan nama kakeknya, anak muadzin di masjid kampung kami. Dia, “fisically” mirip benar dengan Hutri, sama hitamnya, dan sama betul bibirnya yang tebal. Sering kami meledek kalau mereka bersaudara, padahal jelas bukan. Dan selalu saja Hutri menangis dikatakan demikian. Kejam benar kami mengatai kawan sendiri.
“Kelas berapa sekarang kamu dhik?” aku bertanya pada Y di sebelahku.
“Kelas tiga SMP, emang ada apa mas?”
“Mau masuk SMU mana kiranya?”
“Ya nanti tergantung ujian lah. Kalau nilainya bagus, barang tentu di SMU 1 atau 2. Kalau menurut mas, baiknya dimana?”
“Semuanya sama baiknya, tinggal kita sendiri yang mau maju atau terbelakang dalam pelajaran. Semua guru sama, semua sekolah juga sama fasilitasnya. Hanya aku ini memang berbeda. Aku memilih SMU 2 itu karena aku memang gila bola. Dan hanya sekolah itu memang yang punya lapangan. Aku malah yang bikin gawang permanennya, hingga kini dhe, peninggalan itu juga masih. Pertama masuk belum ada klub bolanya. Terus aku bikin. Ketuanya aku malahan. Jadi aku ini mantan kapten sepakbola SMU 2, dua kali memenangkan piala.” Aku terus bercericau, memamerkan kebanggaanku. Ingin mengesani dia tentunya. Dia tidak tertarik pada bola rupanya. Segera aku mengalihkan pembicaraan.
“Suka musik barangkali dhe?”
“Tentu suka mas,” jawabnya manis
“Punya lagu favorit apa dhe?”
“Ada deh… Nika Costa..”
“Oh.., yang mana?” kejarku.
“First love, barang tentu”
“Ahoi… ada kisah tersendiri mungkin?” aku terus mengejar.
“Ah.. tidak barang satupun. Mas ini mau tahu saja sukanya…” merah mukanya, dia malu. Sepertinya menyembunyikan sesuatu.
Kelak aku tahu kalau dia pernah suka dengan teman satu kelasnya di SMP. Yuni namanya. Dari cerita teman adikku, Sashi, anak kampung sebelah, dia hanya memendam perasaannya itu. Cuma memang sempat terjadi pula gossip mereka pacaran. Y tidak pernah mengakui hal itu. Akhirnya aku tahu, kalau teman lelaki yang ditaksirnya lebih menaruh perhatian pada Sashi. Kalah bersaing rupanya Y. Ya, cinta memang terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan. Cinta, dimana-mana memang indah, juga kebinasaan dan kehancuran yang mengikutinya. Rupanya dia memendam kisahnya itu dengan alunan lembut Nika Costa.. First Love!

*
“First Love”
Nika Costa

Every one can see
There is a change in me
They are say I am not the same
In I use to be
Don’t go anywhere
I just dream away
They don’t know what’s wrong with me
And I’ll to show to say
Is my first love…
*


“Sebelum Cahaya”
Letto

Ku teringat hati
yang bertabur mimpi
kemana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi
yang kau tempuh sendiri
kuatkanlah hati cinta
Ingatkah engkau kepada
embun pagi bersahaja
yang menemanimu sebelum cahaya
Ingatkah engkau kepada
angin yang berhembus mesra
yang kan membelaimu cinta
Kekuatan hati yang berpegang janji
genggamlah tanganku cinta
ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
temani hatimu cinta


*



5



Genggamlah tangan temanmu dalam waktu-waktu sulit
biarkan ia menemukan cinta melalui senyuman
Tapi kita juga harus tahu saat tiba
waktunya untuk merelakan
Karena kita semua harus
belajar untuk tumbuh…


Kali ini permulaan tahun 2000. Lelah aku pada glamour tahun baru di akhir abad ini. Eine Kleine Nachtmusik, serenade in C minor Mozart mengalun lembut pada udara yang dingin dan jam dinding yang berdetak. Kuganti kaset, dan Beethofen mulai meledak-ledak dalam kamarku pada Shimpony No. 5, selalu dalam C minor, kali ini dengan tempo Allegro con Brio. And.. sometime, history began at the darknes of the night. In the midlle of the night….
Kubacai ulang buku harianku. Seperti hendak memutar sejarah, membalik waktu pada pendulum jam. Tersenyum aku pada daftar urutan nama perempuan yang masuk dalam hidupku. He.. mulai sejak TK, rupanya aku sudah mata keranjang sejak oroknya. Ada juga resensi dan catatan kecil dari buku yang kubacai. “Freedom, Liberte, Fraternite”, pff… catatan kecil waktu SMP dulu. Suka benar aku membacai Sejarah Perancis, Revolusinya… dan Napoleon tentunya. “Aku ini berpikir, maka demikianlah aku”, ahoi… kutipan filsafat Descartes rupanya. Kubalik lagi halaman demi halaman. Wah… kali ini yang paling berat, Nietszche dengan “Revaluasi Nilai”, “Aforisme yang Mengambang”, “Senjakala para Dewa”, “Nihilisme” dan tentu saja “Ubermensch!”. Ada juga “Dekonstruksi”nya Derrida, “Arte della Guerra”nya Machivelli. Wah senang juga aku pada filsafat dulu.
Belum selesai aku membacai buku harianku. Kadang geli juga, masa di setiap lembarnya selalu ada tulisan nama Y, lengkap dengan contoh tanda tangannya.Tanda tangannya yang bagus, secantik orangnya, dan rumit, serumit manusianya.
Hoho… kali ini aku mulai menjadi Marxis, ideologi kiri orang bilang. Ah… ini catatan tentang Gramsci waktu di penjara, ada juga Marx dan Engels dengan teori pertentangan kelasnya. “Jalan Ketiga” Giddens. Freire, “Mengenal arti lapar bagi anak sekolah” dan “Teologi Pembebasan” tentunya. Hmm… foto pejuang gila itu, Che… ada juga terselip di halaman bukuku. Ahh… menguap juga aku pada akhirnya, tak kuteruskan membacai buku harian usang itu. Dan kali ini tepat aku tutup pada catatan kecil Tan Malaka. “Kunang, selalu berkedip… walau malam telah sangat larut…” begitu katanya.
Telah larut malam. Dan aku tertidur dalam buaian Bach pada “Overture”.

*


“Sudah selesai menulisnya? Coba sekarang dengarkan cara mengejanya ; bonjour, au revoir, ce’ est moi, rendezvous, le journale. Sudah? Sekarang ditambah dengan kalimat ; common talle vouz, zet nei wei pas bien. Baik, coba sekarang menyanyi ya.. : Dans la forre loin tine… auntaunt tout le coucou…” Begitu pelajaran sepatah dua patah kata dalam Prancis. Guruku di kampung yang mengajarkannya, perempuan malahan. Beranak satu, anaknya sudah bersekolah kelas 3 di SD. Bercerai belum lama dengan suaminya. Tidak cocok katanya. Lebih jauh aku tak pernah bertanya lagi tentang itu. Privasi, orang bilang. Tidak baik masuk pada pedalaman orang tanpa ada kepentingan sesuatu yang patut.
Sore ini aku bertamu kerumahnya. Rumah guruku juga. Ayahnya, seorang Imam Masjid, guruku mengaji Al Qur’an. Guruku yang dulu, pertama masuk kampung T, sudah meninggal, waktu aku SMP dulu. Y, salah satu cucunya. Dan F, adalah salah satu anaknya dari istri yang kedua. Jadi F adalah bibi Y. F, sekarang baru masuk kuliah, aku juga sedikit membantunya kemarin. Aku pernah bilang pada Y, kalau F itu manis, lebih manis dari Y. Mungkin bisa jadi aku naksir dia besok-besoknya. Marah Y waktu itu. Entah sekarang ini.
“Bonjour, Madame!” He..he, sapaku dalam Perancis. Terkejut dia mendapatiku di depan pintu.
“Oh.., mari masuk saja ke dalam.”
“Di luar saja juga tak mengapa Madame.”
“Boleh, jika memang lebih suka di teras.”
“Jadi, sudah kaubacai buku itu?”
“Beberapa bagian malah hapal Madame!”
“Wah, maju juga kau dalam sejarah. Bagian mana yang menarik perhatianmu?”
“He..he, bagian awal, tengah dan akhir. Awalnya, ketika Napoleon pertamakali berciuman dengan pacarnya di kampung, Desire nama gadis itu. Kemudian dia masuk akademi tentara umur 16 tahun, kemudian jadi komandan regu umur 18 tahun. Tahun berikutnya dia memimpin perang di perbatasan Spanyol dan berhasil meruntuhkan bentengnya di Corsica. Pada umur 21 tahun dia telah menjadi perwira menengah, Marsekal”
“Ya, mengagumkan bukan, pada usia semuda itu? Kau pasti tertarik pada kisah hidupnya? Mau kau seperti dia? Ada kulihat kemiripan padamu dengannya. Ambisimu terutama dan semangatmu yang tak mau kalah. Keras kepalanya juga sama. Juga masalah kecenderunganmu pada wanita.”
“Ah, Madame. Memangnya aku suka wanita?”
“Jangan mungkir. Kau bisa menyembunyikan hatimu, tapi tidak pada sikapmu. Sikapmu itu yang suka merayu gadis. Ahoi, gadis mana saja yang pernah kau rayu? Gadis depan rumah barangkali?”
Dia melirik pada rumah di depan. Rumah Y tentunya. Kurasai, kata-kata terakhir itu seperti busur panah yang tepat mengena pada jantungku. Menggoyahkan pribadiku di depannya. Malu aku. Ah, bila tak kualihkan bisa mati kutu aku. Guruku yang seorang ini, selain pintar bahasa, menguasai dalam sejarah, pandai pula menggenggam hati orang. Kalau saja masih gadis, pasti aku naksir padanya. Sekarangpun masih kelihatan cantik sebetulnya.
“Gagah dan tinggi kiranya dia, Madame?”, cepat aku mengalihkan perhatian.
“Siapa?”
“Napoleon barang tentu.”
“Ah, tidak juga. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran Eropa. Malah gendut di usia tuanya. Hanya saja garis wajahnya itu. Kuat, sangat berkarakter.”
“Apa semua penakluk seperti itu, Madame?
“Mungkin juga, ada kesamaan antara mereka. Sifat, kepribadian dan karakter mereka, membentuk pada air muka dan garis wajah yang sama. Adakah kau lihat bukan kemiripan antara Alexander dan Cesar?”
“Bagaimana kalau bangsa kita, Madame? Bangsa Jawa?”
“Sama juga. Jawa pada mulanya juga adalah bangsa penakluk. Ingat kau, tentara Mongol kalah oleh Wijaya? Ingat juga kau pada ekspedisi Pamalayu Kertanegara? Ingat kau pada Arok, jagoan Brahmana yang menjadi raja? Pada puncaknya, dia yang terbesar, Mada. Dia prajurit biasa yang naik pada kekuasaan dengan kemampuan militernya. Menaklukan segala apa yang ada di hadapannya. Sumatera dan Malaka oleh Adityawarman, Bali, Madura, Nusa Tenggara dan Timor oleh Ranggalawe. Junggaluh, Wulungga, Maluku, Makasar, Borneo, Brunai hingga Mindanao oleh tangannya sendiri dan Nala. Laksamananya yang jago di lautan itu.”
“Mirip dia dengan Napoleon tentunya? Menaklukan wilayah sedemikian besar, dengan tidak terlalu banyak orang. Adityawarman sebagai diplomat urusan mancanegara. Ranggalawe sebagai Panglima Angkatan Daratnya. Nala sebagai Laksamana Lautnya. Dan dia sendiri yang terbesar. Pemimpin segalanya, bahkan Hayam Wurukpun dibuat bonekanya.”
“Kau luput memperhatikan sesuatu, R. Ada juga perbedaan besar antara keduanya? Mada tidak suka pada wanita. Bahkan dia pernah membunuh kekasih Hayam Wuruk, Pitaloka. Perang terakhir di Bubat yang menamatkan kariernya. Tapi sama juga pada akhirnya antara keduanya. Tragis. Berakhir dengan perang juga pada akhirnya. Termakan ambisinya sendiri. Ya, mulai dari perang. Berjaya dari medan perang. Dan takluk oleh perang. Semua akan seperti itu. Juga penguasa terakhir negeri ini. Bermula dari aksi massa dan diturunkan oleh aksi massa. Siapa yang menanam akan menuai buahnya. Hati-hati kau besok. Ada kulihat ambisi penguasa dalam air mukamu! Coba kau ceritai bagian tengah buku itu?”, kali ini dia memerlukan menguji pemahamanku lagi.
“Napoleon, mempunyai teman, teman setia pada awalnya. Pendukung utama Revolusi Perancis. Bernard, seorang jurnalis. Dan Alain de Soison. Teman satu akademinya. Dia berpangkat satu tingkat dibawahnya. Mereka semua mati pada akhirnya. Oleh, tentaranya sendiri. Tentara Napoleon. Mereka menentang Napoleon menjadi Kaisar. Mereka itu pendukung setia demokrasi dan republik yang sedang dibangun. Tiada mereka rela melihat Perancis kembali pada Monarki Kekaisaran.”
“Adakah kau akan seperti itu? Membunuhi kawan sendiri demi ambisimu? Hati-hati kau besok? Jangan kau termakan oleh hal begitu rupa. Ambisi menjadi penguasa tidak jelek, asal tahu berbuat yang baik untuk rakyatnya, dan mengahargai kawan seperjuangan. Jangan kau hidup dari air mata dan keringat rakyatmu. Jangan kau khianati kawan sendiri.”
Ah, guruku yang seorang ini. Dia bukan saja guru bagiku. Teman, kawan sejati dalam bertukar pandangan. Mitra dalam belajar. Dia, sahabat manusia, dia rela meluangkan waktunya, menyediakan tangannya untuk siapapun yang datang. Bahkan dia akan menghampirinya. Menyentuhnya, membelainya dan membesarkannya sebagai manusia. Ya, dia telah menjadi manusia paripurna. Manusia yang merdeka dan terpelajar. Adil pada semua manusia sejak pada pikiran dan perbuatan. Rela untuk berbagi hati dan kasih sayang pada semua.
“Coba kau ceritai lagi bagian tengahnya yang lain?” dia memintaku meneruskan.
“Napoleon, menjadi Jenderal penuh di usia 23 tahun. Pada umur itu dia pertamakali bertemu dengan Josephine. Wanita yang membuatnya tergila-gila dan memancing dia pada ambisi kekuasaan. Pada umur 25 tahun, dia mempersembahkan seluruh kemenangan di Eropa untuk Perancis dan Josephine tentunya. Dia akhirnya menjadi Kaisar pada umur 27 tahun. Usia muda yang gilang gemilang.”
“Kau suka politik bukan. Dia tentu meraih kekuasaan tidak hanya dengan senjata dan tentara. Dia barang tentu berpolitik juga bukan.?”
“Ya, dia dengan lihai bisa mengatur dan mendistribusikan kepentingan kawan dan para pesaingnya. Talleyrand, jago diplomatik dan ahli tatanegara itu, dijadikannya Perdana Menteri. Josep Fouche, orang licik yang selalu bermain banyak muka, dia jadikan Kepala Kepolisian dan pemimpin dinas spionase. Intelijen jaman sekarang. Ya, macam-macam motifnya. Talleyrand, dia butuh aktualisasi “keterpelajarannya”. Fouche, di butuh hidup dalam semua zaman dan pergantian penguasa. Untuk hal yang sederhana. Nafkah keluarga.”
“Ya, kekuasaan dan motifnya, yang selalu terjadi pada hampir semua zaman. Percaya kau, bahwa motif kekuasaan Arok, merebut Tumapel pada mulanya hanyalah untuk merebut Dedes? Dia sudah menjadi mata gelap karena Dedes itu.”
“Ah… maaf, silahkan diminum R, lupa pada minum jadinya.”
“Terimakasih, Madame.”
“Ah, aku takut mendapati kau besok seperti mereka.”
“Mengapa, Madame?”
“Ada kulihat pada mukamu, kekuasaan dan perempuan. Itu kekuatanmu, juga kelemahanmu yang paling dasar. Itu seperti pedang yang bermata dua. Kau bisa tertebas salah satunya, atau juga keduanya.”
“Ah, Madame sedang tidak mendoakanku seperti itu kan?”
“Berjaga-jaga, mengira-ira sejak awal bukanya lebih baik? Biar diri lebih siap menghadapinya. Ibu juga tak ingin kau bernasib tidak baik karena kekuasan dan perempuan. Kau bisa berjaya karena keduanya. Tapi kau juga bisa hancur karena keduanya. Terutama perempuan. Ya, kau tidak kuat pada perempuan rupanya.”
“Jangan sampai demikian Madame. Kan, ada Madame yang selalu membimbingku?”
“Tidak jaminan R. Masa depan, siapa manusia yang bisa mengira. Takdir Tuhan, selalu saja lebih kuat. Dan masa depan, selalu saja sejarah yang berulang. Berhati-hatilah pada langkahmu. Kau, terpelajar yang menjanjikan bagi orang banyak. Semoga kau bisa berbuat untuk mereka. Pengetahuan, jika tak digunakan, hanya akan membusuk di kepala kita, jadi bangkai. Harus selalu ada manusia yang menyediakan dirinya untuk berbuat bagi rakyatnya. Belajar dan mengajari.”
Ah, aku hanya dapat menunduk pada muntahan kalimatnya yang seperti peluru. Dia, Madame yang seorang ini, Bundaku, Guruku, seperti wanita besi dari Jepara pada masa yang lalu. Sore ini diskusi dengan guruku yang seorang itu mesti berakhir. Sebentar lagi adzan maghrib, dan aku harus bersegera ke masjid juga.
“Au revoir, Madame” kataku dalam Perancis menutup pembicaraan. Hampir lupa aku belum menyebut namanya sejak awal. Hasanah. Madame, Siti Hasanah.

*
Setelah mengambil wudlu, aku naik ke serambi Masjid. Kini serambi itu telah tiada tersisa barang secuilpun. Rata dengan tanah, sebagai jalan baru sekarang. Masih juga teringat aku pada pembicaraan Guruku tadi. “Jawa, bangsa Jawa dulunya juga penakluk” Iri juga aku sebagai “Jawa” melihat pada kebesaran bangsa-bangsa lain. Bangsaku sendiri juga pada mulanya tak kurang hebat. Kuat di darat dan berjaya di laut. Kapal-kapalnya telah sampai ke negara manca. Hingga ke Madagaskar di timur Afrika. Benggala, Coromandel, dan Semenanjung Arabia tentunya. Candinya di Prambanan dan Borobudur tak kalah megahnya dengan kuil-kuil Romawi dan Yunani. Parthenon misalnya, sudah separo yang runtuh. Borobudur masih tegak hingga kini.
Ah, reruntuhan puing kejayaan masa lalu. Sebelum bangsa kami dikalahkan oleh mesiu dan tongkat berapi. Sebelum de Houtman menginjakkan kaki di tanah kami pada tahun 1586. Kalah oleh pengetahuan dan “modal”. Modal yang memecah belah kami hingga berkeping-keping. Menjadi bangsa pengemis dan kuli. Terhinakan sebagai ras ketiga. Tidak kurang juga Amangkurat yang mejual Mataram pada VOC. Ya, karena uang, modal biaya hidup kerajaan yang miskin. Dan biaya perang melawan pemberontak. Trunojoyo, Suropati dan Diponegoro
Ah, Napoleon. Manusia dalam sejarah itu, manusia hebat pada masanya, juga tak sempurna dalam semua hal. Dia memang jagoan di darat. Hapal di luar kepala seluruh peta Eropa. Tapi dia selalu kalah di laut. Dia tak punya angkatan laut yang kuat. Prancis tak pernah menang dengan Inggris dan Spanyol di lautan. Kalah juga dia dengan Wellington. Salah seorang Jenderalnya pun pada akhirnya lari ke Hindia Belanda. Daendles, Herman William Daendles. Di darat pun tak sempurna juga. Kalah dia dengan Kutuzov, Jenderal Russia itu yang telah kakek-kakek.
Ah, lamunanku terlalu jauh. Suara iqomat sudah terdengar, aku segera naik ke masjid untuk berjamaah. Malam itu, malam minggu. Kali ini semua teman sudah pada datang ke masjid. Setelah jama’ah isya, akan ada rapat penting rupanya.
Selesai jamaah Isya, semua anggota perkumpulan remaja masjid kami telah memenuhi serambi. Aku sendiri tak tahu, rapat akan membicarakan apa. Ah…, pelupa benar aku. Seminggu lagi kami akan studi wisata. Tour, plesiran orang bilang. Ini yang pertama bagi kami, rombongan naik bus. Kota W, tujuan kami. Kami akan berkunjung ke Kalibeber, mampir barang sebentar untuk melihat Pondok Pesantrennya. Dan setelah itu kami akan ke Dieng. Melihat pada kawah, telaga dan candinya. Jujur saja, kami semua belum pernah pergi kesana. Tak sabar kami menanti hari itu. Minggu depan.


*


“Rekonstruksi sejarah ;
mengenang masa lalu, berkaca, melihat dan belajar
untuk membangun gua garba hari depan
bernama Indonesia!”

*

“Sahabat Kecilku”
Gita Gutawa

Kau jauh melangkah
melewati batas waktu
menjauh dariku
akankah kita berjumpa kembali
Sahabat kecilku…
masihkah kau ingat aku
saat kau lantunkan
segala cita dan tujuan mulia
Tak ada satu pun masa
seindah saat kita bersama
Bermain-main hingga lupa waktu
mungkinkah kita kan mengulangnya
Tiada, tiada lagi tawamu
yang slalu menemani sgala sedihku
Tiada, tiada lagi candamu yang slalu
yang slalu menghibur di saat gulana
Bila malam tiba
ku slalu mohonkan Tuhan
menjaga jiwamu, hingga suatu masa bertemu lagi
Sahabat kecilku, masihkah kau ingat aku….


*
6

Allahummarhamni bil Qur’an…
waj’al hulli imaaman, wanuro, wahuda, warrohmah,
Allahumma dzakirni, minhuma nasiitu, ‘alimni
minhuma jahiltu,
warzuqni tilla waddahu,
anna allaily, wa’alaa annahar,
waj’al hulli hujatan,
yaa… robbal ‘alamiin…


Anak-anak pada semangat melantunkan syair doa sebelum mengaji. Di serambi masjid kami, setiap bada Maghrib. Tradisi yang turun temurun entah sejak kapan. Cuma akhirnya sendiri yang kira-kira aku bisa tahu. Dulu, serambi ini penuh dengan anak-anak. Termasuk aku tentunya. Banyak guru mengajinya juga. Dulu, tidak cuma anak-anak saja yang pergi berjamaah, remaja, pemuda, orang tua, hingga kakek-kakek dan nenek-nenek. Ramai betul masjid ini dulu. Sebelum kakek Guruku, Kyai A meninggal. (Kakek Y, atau Ramanda F). Dulu saking banyaknya, aku tak bisa membedakan mana anak yang baik dan anak yang nakal. Ya, hampir semua penduduk di komplek kami “wajib” mengaji. Tumpah ruah akhirnya masjid kecil kami dulu, banjir manusia, banjir jamaah.
Waktu terus berjalan. Tahun berganti tahun. Bergeser dari hari ke hari. Dan jamaah masjid kami sudah melorot separo sekarang. Ya, bahkan tinggal 2 shaf saja di masjid yang baru itu. Anak-anak, kali terakhir ramai mengaji waktu jaman kami dulu aktif sebagai remaja masjid. Sekarang anak-anak tak pernah lagi mengaji. Masjid kampung kami sekarang kehilangan “imagi”. Sepi, kosong melompong. Tak sepadan dengan bangunan barunya yang megah, mewah dan indah. Ya, apa mau dikata. Suatu hal yang biasa pada permulaan akhir zaman bukan?
Anak-anak sudah selesai mengaji, malam ini, malam Minggu, pertemuan terakhir menjelang keberangkatan kami ke W besok pagi. Pagi betul setelah Shubuh. Anak-anak tak ada yang bisa tidur malam itu. Terbayang perjalanan wisata ke W.

*
Wah.. lucu juga. Seperti belum pernah bepergian dan melihat bus, anak-anak pada berebut masuk dan memilih tempat duduk. Tentu saja dengan hiruk pikuk yang memekakkan telinga. Seperti rombongan lebah keluar dari sarangnya. Akhirnya bus melaju juga. Diawali dengan doa yang khidmat untuk keselamatan dalam perjalanan. Arif Musthofa, seksi kerohanian yang memimpin.
Riuh rendah sepanjang perjalanan. Kadang juga diam beberapa saat. Tidur atau ketiduran, atau lelah bercakap-cakap tak karuan. Hoek… hoek…groook! Ada saja yang mabuk, baru pernah naik bus katanya. Malas aku melihat adegan yang begituan. Aku sendiri duduk di depan, di samping pak kusir, eh supir yang sedang bekerja. Disebelahku, D, ketua rombongan, ketua remaja masjid kami. Y, dibelakangku. Sepanjang jalan aku terus mengajak dia bicara.
“Sudah masuk sekolah mana Dhe?”
“Emmm… SMU 1, Mas”
“Ko, nda jadi di SMU 2?”
“He..he.. pengin aja, memangnya harus selalu sama dengan Mas?”
“Wah, jadi juga akhirnya ikut wisata ya?”
“Hehe…, iya. Tadinya sih tidak boleh, tapi Yanti nangis dan maksa.”
“Gimana dhe, senang pada perjalanan ini?”
“Ya.. iya lah. Ngapain juga terus-terusan di rumah. Sekali-sekali refreshing kan boleh?”
Senang betul tampaknya Y. Tidak sering dapat kebebasan begitu rupa. Jadi, baginya ini perjalanan yang sungguh membahagiakan. Y, mulai mengenakan jaket pink-nya. Udara memang bertambah dingin ketika kami memasuki kota W.
Bus kami berhenti di pelataran Pondok Pesantren di Kalibeber. Dulu, pondok ini didirikan oleh salah seorang panglima Diponegoro. Penerusnya kini seorang ulama besar, keturunan entah keberapa. Mbah Munthoha kami menyebutnya. Diponegoro dan prajuritnya memang tidak hanya meninggalkan sebaris perlawanan dan harapan ratu adil di tanah Jawa. Diponegoro dan prajuritnya, lebih jauh berevolusi menjadi kekuatan kultural dan agama, terutama di Jawa bagian Tengah. Mataram, Bagelen, Kedu dan Banyumas. Terhitung ada beberapa Pondok Pesantren yang didirikan oleh tentara-tentara Diponegoro. Mulai dari Krapyak di Mataram, API di Tegalrejo, Magelang. Berjan, di Bagelen, Purworejo. Prapak, di Kranggan, Temanggung. Kalibeber di Wonosobo. Parakancanggah di Banjarnegara. Kesugihan di Cilacap. Sirau di Kemranjen. Leler di Banyumas dan Benda di Sirampog, Brebes. Pondok Pesantren di kampungku, tempat guruku, Kyai H, pada mulanya juga adalah tempat petilasan Mbah Salam, bekas prajurit Diponegoro ketika dikejar Kompeni dulu.
Bus melanjutkan kembali pada perjalanan ke Dieng. Inilah bagian perjalanan yang paling menarik. Masih ingat juga bekasnya sampai sekarang. Y, berdecak-decak kagum pada pemandangan di kanan kiri yang penuh dengan jurang yang dalam, dan tebing yang sangat tinggi di sebelahnya. Juga, ketika telah sampai di suatu puncak, betapa kami lihat hamparan lembah luas yang membentang indah. Dengan sawahnya dan ladang sayur-mayur beraneka rupa. Kobis, cesim, sawi, tembakau, teh, dan lainya. Juga perkampungan penduduk yang menggerombol di pojok-pojok bukit. Ada juga tersembul menara-menara masjid dan musholanya. “Pemandangan yang indah, Mas!” Y berkata padaku.
“Rugi kau barang tentu Dhe, jika tidak turut serta kali ini.” Aku menimpali. Y, tidak membalas, hanya mengangguk dan tersenyum gembira padaku. Y, terus saja memadangi pemandangan yang baru seumur hidup ini dilihatnya. Sampai-sampai hidungnya bertambah pesek, melekat pada kaca jendela bus.
Yup! Bus melambatkan lajunya. Telah sampai rupanya kami.
“Perhatian-perhatian!” D memberikan aba-aba melalui pengeras suara, TOA. “Semua penumpang diharap turun dengan tertib, satu persatu. Semua berbaris di pintu loket masuk. Sebelum dapat karcis, harap sabar menunggu. Awas, berpegangan satu sama lain jangan sampai hilang atau terpisah dari rombongan” D, adalah pemimpin yang baik. Kami selalu patuh padanya. Ya, jika tidak sedang kumat tentunya. Begitulah, pada akhirnya kami turun juga.

Kami mulai berjalan, sambil menyanyi tentunya. “Horee…!” begitu teriak salah seorang teman, girang betul dia kelihatannya. Kami mulai berbaris masuk pada lokasi pertama. Telaga warna. Sayang kini sudah tak berwarna lagi. Lebih mirip seperti kubangan lumpur dan berbau busuk pula. Bah, peduli amat, yang penting menikmati saja pemandangan ini. Yang lebih menarik justru kawasan hutannya menuju telaga. Ada-ada saja. Kiking (Muflikhin), anak muadzin di kampung kami mulai berulah. Dia dan Ableh memanjat pohon, persis seperti monyet. Minta difoto juga rupanya. Sampai di telaga kami hanya duduk-duduk sebentar. Paling tidak kami “pernah melihat sisa” telaga warna.
Kami melanjutkan perjalanan. Ya, ini juga baru pernah kami lihat. Semua berlarian saling mengejar menuju kawah. Asyik betul. Semuanya tertawa riang. Tidak satupun ada wajah yang sedih, bahkan teman dengan “style” wajah paling sedih-pun ikut tertawa puas melihat pemandangan ini. Sedikit berbau belerang memang, tapi itu tidak menyurutkan niat kami untuk berdiri di atas kawah. Melihat pada asap dan gumpalan lumpur kapur dan belerang yang mendidih.
“Ayo, semua kumpul untuk foto” Ableh berteriak memanggil teman-temannya. Yup. Kami semua telah berdiri dengan “pose” masing-masing. Hehe… aku selalu memilih berdiri atau duduk di dekat Y. Ya, kapan lagi kalau bukan sekarang foto dekat Y.
“Siap… satu, dua, jepret!” Yup. Kami telah berfoto entah berapa kali. Pff… lelah juga akhirnya. Kami beristirahat sejenak pada gardu peristirahatan. Makan seadanya kami. “Lepet” (kupat yang dibungkus janur seperti lonthong). Dengan lauk pecel atau mendoan. Ada juga yang membeli mie ongklok.
“Bunganya, Mas, Mbak?” Tiba-tiba salah seorang penjual edelweis menawarkan pada kami. Aku membelikannya untuk Y, dan untuk ibuku di rumah.
Kami mulai lagi melanjutkan perjalanan menuju kompleks candi. “Wah…, ck.. ck.. ck...” Terheran-heran kami melihat pemandangan yang menakjubkan. Hamparan lembah di atas perbukitan. Candi Arjuna dan Candi Bima saling berdampingan di tengah hamparan luas itu. Baru pernah kami melihat ini. Sisa-sisa kejayaan wangsa Hindhu Sanjaya yang tersingkir oleh Syailendra pada jaman Mataram Kuno. Hebat. Begitu indah dan begitu jauh menyingkir dari pusat kerajaan. Melewati puluhan gunung dan lembah. Hingga sampai juga pada tempat yang tertinggi ini. Berjalan dengan kaki tentunya, tidak mungkin naik bus seperti kami. Atau paling jauh berkuda mungkin. Membawa rombongan keluarga, sanak kerabat dan beberapa prajurit. Suatu episode pembuangan atau pengasingan yang menyedihkan dan mengharukan oleh Samaratungga, raja wangsa Syailendra yang mengusir keturunan Sanjaya.
Setelah berpuas diri dengan banyak foto, sempat pula kami bermain bola di halaman candi.
Perjalanan kami mesti berakhir, hari menjelang sore. Kabut mulai menyelimuti. Setelah sholat Ashar barang sebentar, kami meninggalkan sisa-sisa kejayaan Sanjaya. Selamat tinggal Dieng. Aku melambai pada Arjuna dan Bima yang berdiri anggun. Dan kami meluncur kebawah, terus berkelok-kelok menuju kota….


*
*

“Bintang Jatuh”
I V O

Memandang langit di malam ini
dapat kurasakan damai kau peluk aku
Dan kini masih saja kucari
ketulusan darimu untuk tenangkan diri
Meskipun jauh dan juga tinggi
tanpa sinarmu
Kuharapkan kini ada bintang jatuh
turun dan penuhi sgala inginku
Menjadi lilin kecil dalam hidupku
takkan lagi gelap terasa
Kini…, masih diam terpaku
Adakah kau kan slalu dengar akan pintaku
Meskipun lirih bisik pintaku
Sluruh jiwaku, tanpa sinarmu
Kuharapkan kini ada bintang jatuh
Turun dan penuhi sgala inginku
Lihatlah ke atas saat bintang jatuh
Luruhkan segala keinginanmu
Meskipun bintang jatuh hanya kiasan
Saat langit malam berbintang…

*

7

Dhe, aku ingin melihat bulan yang tersenyum dari jendela kamar kita
Aku ingin menghitung bintang sebelum tidur dari langit peraduan kita
Aku ingin memetik setangkai mawar yang tumbuh di kebun kita
Dhe, aku ingin, sst…marry U…
Really, I am sure!!


Liburan musim panas ini Y tidak ikut acara kami. Kali ini orang tuanya keberatan. Kami mengadakan kemah di telaga sunyi. Ya, seluruh anggota remaja masjid, kecuali Y. Tidak perlu aku ceritai lebih lanjut hal ini. Kenapa? Ya, apa menariknya tanpa Y. Liburan yang biasa saja tentunya. Dengan acara layaknya orang berkemah. Tenda, api unggun, memasak, jalan-jalan, permainan, diskusi tentu saja, main bola, nyanyi-nyanyi, lompat dari air terjun, dan bla-bla-bla….
Ini saja yang patut aku ceritai. Jadi, sejak dari W itu. Aku sudah mulai punya perasaan tidak menentu pada Y. Entah Y sendiri bagaimana terhadapku. Aku tak mau berjudi tentang perasaan, dan belum waktunya aku menimbang itu.
Aku sendiri bukan kali ini menaruh hati pada seseorang. Ada yang sekedarnya, sambil lalu, asal saja, coba-coba, atau cinta betulan sampai mati kutu. Kebanyakan hanya menurutkan kemauan hati saja. Tanpa kepala dingin, pikiran ataupun pertimbangan yang matang. Ah, belum mau aku terlalu banyak menimbang pada usia semuda ini. Jadi, kuturuti saja perasaan yang sesaat itu. Memang begitu hakikatnya hati.
“Qalbu, al qalb, berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang mudah terbolak-balik.” Begitu guru madrasahku bilang.
“Jadi hati-hatilah bermain dengan hati” katanya.
Ya, tentu saja. Tapi dasar buaya darat, mana mau aku menurutkan pikiran. Hati saja selama ini yang memimipin. Ya, walau juga sering berpindah sasaran tiap barang sebentar. Aku tak tahu sejak kapan pastinya aku mengidap penyakit buaya darat ini. Don Juan orang bilang. Philogynik, Pram bilang. Hidung belang, pelacur bilang. Persetan, dengan orang bilang.
Baik, aku hitung mundur saja. Pertama kali aku naksir perempuan adalah ketika aku mendapatkan komunitas di luar rumah. Sekolah. Ya, sekolahku di TK. Mungkin kalau sejak bayi aku sudah sekolah. Atau ada Baby School misalnya, mungkin juga aku sudah naksir dengan bayi perempuan lain. Atau susternya mungkin. Gila juga. Aku sendiri tak pernah berkonsultasi dengan siapapun. Apalagi Dokter. Psikolog juga tak pernah. Aku tak pernah memandang ini sebagai kelainan. Justru aku selalu bersyukur, mempunyai anugrah cinta yang besar terhadap sesama. He..he… aku selalu berapologi tentang hal ini. Mending lah masih normal. Coba kalau justru dengan sesama jenis. Bisa berabe hidup ini.
Jadi, perempuan memang seringkali mendatangkan masalah bagiku. Aku sendiri pernah naksir berat dengan tetangga bibiku di Klampok. Dulu, waktu kelas tiga SMU. Aku nekad “nembak”. Busyet, dia mau. Jadilah aku pacaran. Suwerr!! Itu pertama kali aku menyentuh perempuan. Paling jauh hanya pegangan tangan.
Dan selalu saja aku berselera tinggi dengan perempuan. Tentu saja dia cantik, badanya semampai. Suka basket dan renang. Suka pula menari. Aktifis gereja Katholik malahan. Padahal aku remaja masjid tulen. Ya, betul-betul asmara yang tidak menggunakan otak!! Jadi kami cuma berjalan 1 bulan saja. Perkaranya jelas. Aku tidak mau “digerejakan” dan dia tidak mau “dimasjidkan”. Ya, masalah mulai datang. Aku selalu saja tidak bisa menyakiti perempuan. Jadi dia yang mengambil keputusan. Sakit hati juga aku. Inilah kali pertama aku disakiti perempuan. Kelak ingin juga aku menulis cerita “sejarah sakit hati”.
Seperti orang kesurupan aku waktu itu. Sebagai pelampiasan kekecewaan, aku langsung beli Injil dan membacainya sampai habis. Dan aku membandingkanya dengan Al Quran, yang terjemahannya juga aku bacai sampai habis. Kelas tiga SMU dulu waktu itu. Sudah “khatam” Injil. Beberapa malah hapal ayatnya. Hehe…, selalu saja ada hikmahnya. Aku jadi tambah beriman, dan lihai berdebat “teologi” dengan temanku yang Kristen.
Ya, aku mulai membabi buta sejak kelas tiga SMU. Perkaranya sepele sekali sebetulnya. Waktu itu, pelajaran BK, harga diriku dan gengsiku sebagai lelaki terusik. Guruku mengumumkan hasil angket. Ternyata aku satu-satunya siswa yang mengisi kolom “belum pernah pacaran”. Dan salah satu juga yang mengisi kolom “takut bolos dan minggat”. Memang, kejahatanku di sekolah hanyalah selalu saja datang terlambat, dan “nganthukan” di dalam kelas. Jadi aku punya pikiran begini pada akhirnya, “Masa sekolah sekian lama belum pernah minggat barang sekalipun? Ah, nggak seru. Besok aku harus mulai berani minggat. Dan pacaran tentunya”. Pernah aku mengajak teman sekelasku minggat, mulai jam pelajaran pertama. Waktu itu kebetulan hari ulang tahunku. Aku bohongi teman-teman kalau aku mau nraktir, asalkan mau minggat bareng-bareng. Busyet, diluar dugaan. Semua kompak minggat di hari itu. Begitulah pada mulanya. Akhirnya aku berani juga menampilkan “kejantanan”ku. Ya, mulailah aku suka merayu gadis. Pacaran juga selanjutnya.
Setelah putus dengan “cewek Gereja” itu. Aku jomblo barang sesaat. Dan tidak berapa lama, kebiasaanku datang terlambat membuahkan hasilnya. Waktu itu, ada juga anak kelas satu yang terlambat datang. Jadilah jam pertama kami duduk-duduk di kantin. Ehm, tentu saja dia cantik, with the long hair, sexy of course and “genit” juga. Aku langsung tembak dia dengan tawaran pulang bareng. Aku antar dia sampai rumah. Busyet, dia tidak menolak. Wah, jauh juga rumahnya. Tipar Kidul, perbatasan Ajibarang dan Wangon. Nekad juga aku. Sungguh, ini kali pertama aku pergi jauh dengan sepeda motor. Pertama kali ini menginjakkan kaki di Ajibarang. Ada kesempatan “jadian” dengan dia sebetulnya. Cuma aku yang bodoh. Kali ini aku mulai menggunakan otak. Naluriku sebagai aktifis masjid, mengatakan untuk tidak. Kenapa? Dia terlalu sexy dan genit buatku. Juga dia kedapatan sering pulang bareng dengan cowok lain. Seleranya tentang film juga bikin aku merinding. Dia sudah pernah nonton film “kamasutra”. Anak semuda itu, kelas 1 SMU. Aku saja yang kelas tiga, belum pernah nonton begituan. Hii… Aku mundur pelan-pelan akhirnya.
Aku segera tobat. Kembali ke masjid dan merenungi segalanya. Tobat sambal barangkali. Hehe… hasil perenunganku mengatakan begini : “Pacaran, jatuh cinta, mencintai gadis atau dicintai gadis, minimal naksir dan ngefuns dengan seseorang, adalah manusiawi. Anugrah Tuhan yang tak perlu disesali. Malah kita harus bersyukur bahwa kita masih punya cinta. Apa jadinya hidup tanpa cinta? Tak ada menariknya. Ya, itulah satu-satunya hiburan di dunia yang mengasyikkan. Sebab, besok kalau di akherat, mana sempat jatuh cinta. Apalagi jika masuk neraka, gak kebayang deh buat pacaran dengan sesama penghuni neraka. Masuk surga-pun sama saja. Tidak ada “falling in love” di sana. Semuanya sudah jadi milik kita, termasuk seribu peri dan bidadari dalam etalase surga, tinggal mau pilih yang mana. Tidak harus pake acara “PDKT” segala, gombal-gombalan SMS dan tetek bengek pacaran lainnya. Basi banget, gitu loch…!. Jadi kesimpulannya, aku harus tetap melanjutkan misi “dakwah bil cinta.” Ehm… itulah hasil perenunganku di masjid. Hehe… masjidnya yang salah atau manusianya yang ngawur. Bodo amat!
Jadi kali ini aku melanjutkan misi, “Burisrawa mencari cinta”. Yup…! Wow..! Pucuk dicinta, cewek tiba. Hehe… naluri bejatku sebagai mata keranjang segera beraksi. Saat itu sedang ada acara pengajian Isra Mi’raj di sekolah, ternyata ada anak kelas satu yang ikut jadi panitia. Anggota baru ROHIS katanya. Yup, memenuhi seleraku. Cantik. Semampai, semlohe orang bilang. Kali ini berjilbab. Aku dekati dia, setelah basa-basi sebentar aku segera mendapatkan semua data yang kuperlukan. Nama lengkap, nama orang tua, alamat, nomor telepon, hobby, dll. Masya Allah, kali ini aku jatuh cinta betulan. Aku main kerumahnya, desa Karangcengis, Lesmana, Ajibarang juga. Bapaknya Kyai rupanya. Dia malah masih cucu dari ulama legendaris “Mbah Muzni” yang terkenal sakti mandraguna. Dua tahun aku mengejar-ngejar dia, sebut saja Ayu, Fitriah Ayu. Apa mau dikata, kasihan benar aku. Dia belum tertarik padaku rupanya, walaupun sampai sekarang belum juga menikah dia. Bahkan aku sampai sekarang juga masih sering main ke rumahnya. Urusan dengan bapaknya sebagai sesama aktifis partai. Cantik betul dia, seperti Nia Ramadhani. Suwerr! Tapi nasib ternyata bertepuk hanya sebelah tangan. Jadi inilah kali kedua aku disakiti perempuan.
Setelah insiden memalukan itu, “ditolak perempuan untuk pertama kali”, uring-uringan juga aku akhirnya. Persetan dengan perempuan. Perempuan memang brengsek. Tak tahu diuntung oleh lelaki romantis, baik hati dan penuh kasih sayang seperti aku. Hoek…!
Tapi dasar. Sekali mata keranjang tetaplah buaya darat. Eh…, kumat lagi deh. Ah, ini memang kelemahanku. Tak bisa aku melewatkan hidup barang sebentar tanpa perempuan di pikiranku. Kali ini aku “cuma iseng” mendekati cewek. Aminah, anak baik di kampungku. Satu sekolah denganku dulu. Adik kelasku ternyata. Jadian pula aku akhirnya. Diterima dengan tanpa syarat. Terlalu mudah sebetulnya, kurang asyik jadinya. Aku dan A cuma bertahan sebentar, sebulan juga kurang lebih. Tidak cocok kami ternyata. Tapi dia cinta betul padaku. Kasihan juga. Menangis tersedu sedan saat dia aku putus. Baru pernah aku berbuat demikian pada perempuan. Tidak sampai hati sebetulnya. Tapi aku akan lebih tidak berperasaan apabila membiarkan dia terlalu lama. Jujur saja, apa mau dikata. Hati ini tidak ada barang satu butirpun atom “sayang” padanya. Nafsu pun tidak. Inilah yang aku herankan. Jadi ini memang keputusan yang harus kuambil. Inilah kali pertama aku “menyakiti” perempuan.
Faktor Y juga berpengaruh tentang hubunganku dengan A. Jadi aku memang sering “curhat” dengan Y tentang hubunganku yang tidak kondusif dengan A. Tidak berapa lama setelah aku putus dengan A. Aku “jadian” dengan Y. Kalau boleh jujur, sebetulnya aku “jadian” dulu dengan Y, baru aku memutuskan A. Kejam mungkin ya. Ya, itulah resiko cinta. Cinta memang indah, juga kebinasaan yang mengikutinya. Jauh di lubuk hatiku, aku merasakan betapa A sangat tersakiti olehku. Mungkin dia juga sempat mengutuki dan menyumpah serapahi aku. Kelak, karma itu betul-betul terbukti padaku. Doa orang yang “teraniaya” memang makbul ternyata. Baginya, aku “tega menari indah, diatas tangisannya”. Ah, sering sekali aku meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan yang tanpa batas padanya, hingga kini malahan. Sebagai penebus dosa mungkin. Entah sampai sekarang dia telah memaafkanku atau belum, aku tak tahu pastinya. Ya, seperti kata guruku, “Masa depan hanyalah sejarah yang berulang”. Aku disakiti perempuan, lalu aku menyakiti perempuan, lalu aku disakiti perempuan, lalu aku…. Ah, lingkaran setan. Parade sakit hati. Sejarah penganiayaan. Episode luka dan kekejaman cinta. Dan hidup, terlampau sering hanya bertepuk sebelah tangan. Ini saja yang pasti buatku “ROMANTISME, DAN ROMANTIKISME HANYA AKAN BERAKHIR DENGAN GIGITAN”.

*

Waterfall

Pada air yang terjatuh tanpa interfal dan birama
Pada heningnya yang melantunkan kerinduan dalam sukma
Pada sunyinya yang mengalunkan asmara dalam cinta

Kau duduk disampingku, sayang
Pada kali pertama kita berdansa
di atas batu pada air terjun di telaga

Kau teringat pada alunan Waltz dan shimpony orkestra dari Mozart
Pada desah nafas kita yang malu-malu

Lalu kau bercerita tentang dunia yang aku tak punya
Pada impian masa depanmu yang coba kau terka

Lalu akupun bercerita tentang bintang dan bulan
Tentang perang yang telah aku menangkan
Dan musim semi yang coba kita jalani

Dinda, kamu cantik...
Tapi aku lebih suka pada “cerewetmu” tentang dunia
Pada “bawelmu” tentang cerita kehidupan
Pada tegarmu hadapi usia
Pada semangat-mu taklukan segala yang ada
Pada dirimu... yang menyimpan kelembutan
Dan ambisi dalam deru nafasmu seperti mesiu...

Maka aku hanyalah sekedar bara yang kan nyalakan api dalam nafasmu

Dinda.. betapa desah nafasmu tlah hidupkanku dalam tidurku
Maka ijinkan aku tuk mencuri separuh nafasmu..
Terbang bersama diriku...
Cup..! Muahh!!
*


“Hanya Ingin Kau Tahu”
Republik


Ku tlah miliki…
rasa indahnya perihku
rasa hancurnya harapku
kau lepas cintaku
yang seakan abadi
sekalipun kau mengerti
sekalipun kau pahami
usik terus salah mengertimu
Hoo..ooo
Aku hanya ingin kau tahu
besarnya cintaku
tingginya khayalku bersamamu
Tuk lalui waktu yang tersisa kini
di setiap hariku
di sisa akhir nafas hidupku
Hoo…ooo
Walaupun semua hanya ada dalam mimpiku
hanya ada dalam anganku
kulewati hidup


*
8

Allahu akbar… Allahu akbar….. Allahu akbar
Laa ilaa ha ilallah huwallahu akbar
Allahu hu akbar walillah hilhamdi

Allahu akbar kabira
Walhamdulillahi katsiira
Wasubhanallahi bukrota waasila


Penghujung tahun 2000. Suara takbir menggema beratus-ratus suara. Ya, besok hari raya. Hari raya kami, Idul Fitri. Masjid dan musholla ramai dengan suara takbir. Rumah-rumah berhias menyiapkan hari raya. Mulai dari pagarnya, cat temboknya yang baru, panganan dan berbagai macam hidangan. Semuanya untuk besok.
Malam ini, kampungku ramai bukan kepalang. Semua penduduk keluar di jalanan hendak menonton pawai. Pawai takbir keliling kiranya. Sudah adat kami sejak dahulu. Entah sejak kapan mulainya. Hingga sekarang ini, kami hanya mendapati diri melaksanakan kewajiban selanjutnya. Kami jadi panitia sekarang. Aku malah ketuanya. Dulu, waktu aku belum jadi pengurus seperti ini, kami semua pada berbaris mengikuti pawai takbir. Hingga larut malam selesainya, tengah malam bahkan. Setiap masjid, mushola ataupun grumbul di kampung kami wajib mengirimkan kontingen. Termasuk aku yang mewakili masjidku. Dua kali aku ikut berbaris. Sesudahnya kami selalu jadi pengurus dan panitia kegiatan. Macam-macam tugasnya. Rumit dan melelahkan persiapan untuk hajat sebesar ini. Untunglah kami telah terbiasa tiap tahunnya.
Malam ini, setelah sholat Isya, sejak maghrib bahkan, kami selalu nampak sibuk. Bukan dibuat-buat. Sibuk betulan memang. Acara malam ini harus sukses. Sukses pesertanya, penontonya, tamu undangannya, kemeriahannya, semuanya saja pokoknya. Tidak boleh tidak. Mau dikemanakan muka dan diri ini jika malam ini tidak lebih meriah dari tahun lalu.
Sejak selesai maghrib, kontingen peserta pawai sudah mulai berdatangan. Pusatnya di masjid kami. Meiva dan Amin Khoiriyah (Alm.), temanku seksi pendaftaran mulai sibuk di depan meja mengurusi registrasi. Wah, terhitung ada 25 peserta tahun ini. Lebih banyak dari tahun kemarin yang hanya 20an saja.
Selalu ada kemajuan tiap tahunnya. Semua kontingen mempersiapkan diri sebaik-baiknya, seindah-indahnya. Macam-macam saja pakaiannya. Ada yang mengenakan jubah dan surban, seperti jaman wali dahulu. Ada yang mengenakan jas dan ikat kepala. Ada yang seadanya saja memakai baju koko putih dengan setelan sarung atau celana hitam, berpicis dan berdasi. Kontingen masjid kami, teman-temanku sendiri, paling bergaya tahun ini. Teman-teman, semuanya berpakaian ksatria Jawa, beskap orang bilang. Lengkap dengan keris dan blangkonnya, juga sepatu selop.
Acara akan segera dimulai. Anto, seksi acara mulai sibuk menyiapkan protokoler. Isnen dan Toif, seksi pemberangkatan mulai sibuk mengatur barisan. Aku sendiri sibuk menemani dan melayani tamu-tamu undangan. Y, kali ini tak ikut panitia teknis. Hanya mondar-mandir saja kerjaannya. Dia tahun ini sebagai seksi pencari dana. Sudah selesai kerjaanya kalau sudah mulai acara begini.
Dan… akhirnya, moment yang paling dinantipun datanglah. Ya, acara akan segera dimulai beberapa detik lagi. Fatur, spesialis pembawa acara (MC) segera berdiri di depan podium. Para tamu undangan berhenti bercakap-cakap dan terdiam khidmat mengikuti jalannya acara. Banyak juga kali ini para tamu yang hadir, hampir tidak ada yang absen. Mulai dari Ketua NU Kecamatan, Ketua NU Kampung, Ketua Muslimatnya, Kyai H-guruku, juga hadir. Bapak Kepala Desa, Ketua LKMD, Ketua Ta’mir seluruh Masjid, tokoh masyarakat, sesepuh dan alim ulama, semuanya tidak ada yang terlewat. Wah… meriah betul.
Setelah selesai berbagai pidato dan sambutan, kontingen segera diberangkatkan. Kontingen terbagi menjadi beberapa sap. Bagian depan membawa spanduk almamater. Tiga orang. Biasanya dipilih yang cantik-cantik dan tinggi. Y tidak pernah masuk kategori ini. Sap kedua adalah para pembawa obor utama dan bendera, juga lampu penerang yang lain. Patromax biasanya. Di sap ini biasanya berjumlah 4-7 orang. Baru sap terakhir adalah para pembawa obor dan pengucap takbir, berjumlah kurang lebih 20 orang. Dipimpin oleh seorang komandan regu, atau mayoret takbir.
“Satu, dua, tiga!” Segera peserta pertama diberangkatkan setelah diawali dengan pembacaan takbir yang menggelegar. Dan riuh rendah penonton mulai bersahut-sahutan. Tepuk tangan, siulan dan komentar macam-macam mulai terdengar. Ada yang memuji, mentertawakan, atau berteriak sekenanya. Pff… malam yang melelahkan. Dan semuanya berjalan lancar hingga pagi hari.

*
Ada banyak hal terlewat sebelum malam takbiran. Sebelumnya, di bulan Ramadhan, kampung kami mengadakan banyak kegiatan, seperti kereta yang tidak terputus. Kali ini panitianya adalah organisasi kami “Ikatan Pelajar NU”. Di hari Ahad, kami selalu mengadakan “Kajian Ahad Pagi” suatu forum diskusi remaja dengan berbagai macam tema. Mulai dari tema fiqih, masalah remaja, ataupun masalah umum. Kali ini pesertanya banyak. Mungkin karena kami mengambil judul yang menarik. Misalnya, “Hamil Diluar Nikah, Bagaimana Solusinya?”. “Kenakalan Remaja, Salah Siapa?” Adalagi, “Pacaran; Anugerah atau Musibah?”. Ataupun tema-tema yang lebih berat dan serius, “Remaja Islam, Mengintip Pasar Bebas 2010 dan World Global Trend 2015.”
Untuk anak-anak SD dan SMP kami mengadakan Pesantren Kilat selama satu minggu dengan materi dan pembicara yang bervariasi. Misalnya materi “Fiqih Dasar Islam”, “Praktek Sholat Wajib dam Sunnah”, “Hapalan Surat dan Doa Sehari-hari”, “Sejarah Islam”, “Aqidah Akhlak”, “Ta’limul Muta’alim (Kitab para Pelajar)”. Juga tentunya pelajaran “anak-anak” seperti; “Menyanyi Islami”, “Dongeng Islami”, “Film Islami”, bermain drama dan berbagai lomba. Fery fun, of course. Untuk para pemuda sebaya kami dan orang tua, kami mengadakan tarawih, keliling, kuliah shubuh keliling, buka bersama dan peringatan Nuzulul Qur’an.

*
Sudah agak berapa lama, kira-kira dua atau tiga bulan sebelum itu, aku mengungkapkan perasaanku pada Y. Malam itu, malam Minggu lagi. Aku terlambat mengikuti pertemuan rutin remaja masjid kami. Habis berkunjung dari A waktu itu. Makin memburuk saja hubunganku dengan A. Dan aku sama sekali tak bisa konsentrasi mengikuti acara. Hanya Y saja yang jadi pusat perhatian dan pandanganku di ruang itu. Acara pun selesai. Dan aku menguntit Y sampai depan rumahnya. Tahu diikuti, Y, mengajakku ngobrol di depan rumah, di bangku teras, di bawah tiang listrik waktu itu. Aku membuka curhatku pada Y. Dan dia mendengarkanku dengan kesungguhan. Hampir satu jam kami berbicara, hingga tiba-tiba sampai pada perkataan yang saling mengejutkan.
“Y, sebenarnya aku memperhatikanmu sudah sejak lama. Sejak pertama ketemu kamu. Hingga kemarin kita wisata ke D. Memangnya kamu tidak sadar aku perhatikan? Masa kamu tidak curiga aku selalu mencuri kesempatan di dekat kamu, mulai sejak di bus sampai acara foto-foto. Di setiap pertemuan, aku juga selalu memandangi kamu seorang.”
Y terdiam kaget. Tidak berapa lama kemudian dia mulai membuka suara.
“Emm…, ya, kadang-kadang tahu juga sih, kalau aku diperhatikan Mas. Tapi… aku takut mengambil kesimpulan. Bukannya mas juga sering merayu gadis lain?”
Kali ini aku yang dibuat malu.
“Eh…, anu… tidak juga. Cuma iseng kok. Tidak sungguhan seperti kamu…”
“Aku suka kamu Dhe, aku seneng ngobrol sama kamu. Enak buat diajak ngobrol dan bertukar pandangan. Dhe, mungkin lebih jauh dari itu… Aku sayang kamu Dhe… Kamu sudah lebih dari adikku sendiri.”
Y terdiam lagi. Menunduk dalam-dalam. Tak jelas ekspresinya waktu itu. Gelap. Dia juga menyembunyikan wajahnya dariku. Tangannya saja yang usil memetiki daun pohon jambu di depan rumah. Bingung mungkin dia, dapat perkataan begitu rupa dariku.
“Kalau adhe sendiri gimana?”
“Ya… gimana donk, bingung! Mas serius? Mas betulan? Ah, masih belum percaya saja.”
“Betulan Dhe, cuma mau ngomong sejak dulu takut. Tidak enak saja. Kamu kan sudah seperti adikku sendiri. Lagi pula apa kata teman-teman nanti? Lagi pula malu juga kan, masih tetangga.”
Y tidak menjawab malam itu. Dia meminta waktu seminggu, yang akhirnya kutawar jadi 3 hari. Lucu juga. Selama menunggu 3 hari itu aku berdoa dan memperbanyak amalan macam-macam. Mulai dari sholat tahajud, hajat, istikaharoh, amalan yasin, fatikhah dan tawassul. Belum lagi wirid berbagai jenis.
Sampailah 3 hari yang ditentukan itu. Y tidak berani mengatakan langsung padaku. Tapi dia menulis surat untukku. 2 lembar kertas buku sekolah. Tulisannya bagus sekali, tidak seperti tulisanku. Kubuka perlahan… dan mulai kubacai dari awal sampai akhir dengan “kusyu” dan “khidmat” di pojokan masjid. Awalnya dia merasa tidak percaya, kaget dan tidak menduga, walaupun sudah mengira-ira sebetulnya. Dan dia mengucapkan terimakasih atas perhatianku padanya. Kemudian dia merasa tersanjung dengan pujian dan penghargaanku. Dia merasa bahagia, diperlakukan begitu rupa olehku. Dan ini yang paling penting. Dia menerimaku. Oh Tuhan…… Oh God…, Ya Allah…, terimakasih engkau telah menerima doaku. Terimakasih Tuhan. Aku langsung bersujud syukur saat itu. Suatu perjuangan yang mengharu biru. Aku langsung menemui Y di depan masjid dengan perasaan senang dan berbunga-bunga. Sungguh. Waktu itu adalah waktu paling bahagia buatku hingga hari ini. Aku mendapatkan cintanya. Y, ternyata juga mencintaiku. Kali ini aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku langsung menyapa Y dengan bersemangat.
“Kenapa tidak bilang dari dulu kalu kau juga suka padaku?”
“Ah, Mas juga baru bilang kemarin kan? Coba kalau bilang dari dulu.”
“Mas… Mas janji ya, gak akan pernah ninggalin Adhe!”, dia mulai merajuk padaku dengan suara lirih dan manja
Takut kehilangan dan terluka mungkin Y. Dan aku menepati janjiku hingga hari ini. Tak pernah sekalipun aku meninggalkannya. Entah dengan dia sendiri.
Hari itu adalah hari paling membahagiakan bagiku. Juni 2001.

*
Daun Jatuh

Selembar Daun yang terjatuh dari bintang,
pada riak air telaga yang tenang
tlah mengusik senja dalam tidurku

buru-buru malaikat terbangun dari sujudnya
dan bidadari tergopoh-gopoh terbang dari kahyangan
untuk selembar daun yang terjatuh dari bintang

dan aku bukanlah apapun, yang pantas kau sambut dengan sgala khidmat
kau pun tak perlu membungkuk dan melempar salam seperti putri
tak perlu kau repot dengan s’gala basa-basi

Aku bukanlah apapun! Dan kau pun tak perlu berkata “kau siapa”
kerna aku pun tak pernah peduli pada kata
cukuplah kau sekedar menyapa pada hutan cemara
pun tlah dapat kulihat wajahmu pada air telaga
kerna kita tak bisa memilih rupa dan kehidupan
kita hanyalah manusia biasa, sayang!
bahkan mungkin tak lebih berharga dari selembar daun
yang terjatuh dari bintang

Dinda, bagaimana aku harus menghormatimu
sbagai bidadari yang telah menyapaku sbagai manusia
memungutku dari tepian jalan pada binatang jalang dari kumpulannya terbuang
pada sebentuk rupa yang hanya bisa berkata tanpa makna

aku hanya bisa memberimu air telaga
untuk kau minum sebagai penawar dahaga
maka inilah aku dinda.., dengan segala yang aku tak punya…
*
“Malam Pertama”
Chrisye

Pagi yang cerah
senyum di bibir merah
Dari balik jendela
sinar mentari lembut menyapa
Kita berdua yang tlah berpeluk mesra
menikmati hangatnya
suasana jiwa insan bercinta
Kutidur di dalam pelukmu
diantara rambut yang terurai
dan degup di dada kudengar kurasa
membisikkan kata baghagia
Pagi yang cerah
berlalu tanpa kata
hanyut kita berdua
dalam lamunan malam pertama
Kau tidur di dalam pelukku
menetes air mata bahagia
Kau berikan semua sepenuh jiwa
dirimu, cintamu, dan segalanya untukku
Pagi yang cerah
dan senyum di bibir merah
sejuta rasa bahagia yang kau berikan
Tiada lagi yang dapat kupersembahkan
hanyalah laguku ini sbagai ungkapan… cintaku…
9

Buatlah dirimu menjadi berkah bagi seseorang
Senyummu yang tulus dan tepukkan di bahu
mungkin bisa menyelamatkan seseorang dari tepi jurang

Aku bertemu D, 2 tahun yang lalu. 1999. Selepas kami tamat SMA. D, katanya padaku, beruntung bisa tamat sekolah menengah. D, sahabatku, salah satu kawan terbaikku. Tak ada yang disembunyikan antara kami. Kami, pada mulanya adalah mitra dalam banyak hal. Mulai dari remaja masjid, organisasi pelajar NU di berbagai tingkat mulai dari kampung, kecamatan, hingga kabupaten. Kali ini saja dia tidak turut naik ke propinsi.
Perjalanan hidupnya sendiri menarik. Naik turun, pasang surut. D, menurutku anak yang berbakat dalam banyak hal. Terutama musik. Dia salah satu maestro yang pernah aku lihat. Terutama pada gitar dan keyboard, musik rebana juga. Sebelum aktif di remaja masjid, D, adalah musisi tulen. D, pernah membuat album underground “Mortal Shimpony”. Sukses waktu itu, sempat juga wawancara dengan radio. Karier D selalu gemilang sebagai musisi. Selepas dari Band yang dulu, dia bergabung dengan band underground paling terkenal. “Santet”. Ya, dia pemain keyboard-nya. Sejak itu kami sering memanggilnya “Dedy Santet”. Dia juga bermain untuk band pop “Cereal”. Bagus juga, pernah mengiringi konser Dewa di P.
Setelah malang melintang di dunia musik dan organisasi, D beralih karier pada bisnis. D, dulu aktif pada organisasi remaja kabupaten. Bermula dari sana, organisasinya membentuk kompanion bisnis. Koperasi, usahanya simpan pinjam. Batramas namanya. D sendiri yang jadi General Manajernya. Sejak itu kami memanggilnya “Dedy GM”. Bagus pada mulanya. Menanjak naik seperti roket, tapi kurang baik pada akhirnya. Kasus. Penipuan dan penggelapan uang waktu itu. Bukan oleh D, tapi atasannya malahan. Direksinya. Kasihan D. Dia menanggung beban yang berat waktu itu. D tidak sendiri. Rekan-rekan satu organisasiku juga banyak yang ikut D. A, teman baikku, satu rekan di Kabupaten. I, teman sekolahku, satu rekan di Kampung. Semuanya ikut D di Koperasi. Ada satu hal yang membuatku tidak enak dengan D. D ternyata juga suka dengan Y. Pada mulanya aku termasuk yang menjodoh-jodohkan.
Malam ini kami berkumpul di rumah D. Depan rumah Y. Biasa kami main rebana di sana. Rumah D sudah seperti rumah sekre bagi kami. Malam itu aku dan D duduk di teras, memandang pada langit yang mendung, tanpa bintang dan bulan.
Sambil bermain-main gitar D bertanya padaku, “Dak, dingin begini enak mungkin ya makan tahu?” D, tidak pernah memanggilku dengan nama asli E, selalu saja dengan nama sebutan “Dakim”
“Pengin ya? Beli donk.” Sahutku.
“King, tolong pesankan tahu 5 piring. Pedas pake banget dan gak pake lama!” D, meminta tolong pada K, teman kami juga. Sambil makan kami ngobrol banyak hal. Selalu saja menarik ketika D bercerita tentang masa lalunya.
“Dulu, aku, Peang dan Tomy paling nakal di TK.” Sambil ketawa dia terus bercerita. “Dulu kita jadi tukang palak di TK. Jadi, setiap ada yang naik ayunan, “njot-njot-an”, atau “undar” kami selalu memungut bayaran Rp. 50, kalau tidak, kami pukuli sampai nangis.”
“Ha..ha…, mirip Giants mungkin ya” kataku
“Dulu, SMPku, tidak pernah sekalipun kalah tawuran dengan SMP lain. Aku komandan tawurnya.” Sambil menyeka mulut dia meneruskan.
“Waktu SMU, aku masuk Gangster, selalu saja berkelahi sampai babak belur. Aku juga punya clurit bekas senjataku dulu. Masih ada di lemari.”
“Selain berkelahi, apalagi Ded?” tanyaku
“Pernah juga Genk-ku ikut pawai kenthongan. Sambil bawa minuman keras dan mercon. Lucu sekali, banyak penonton yang takut. Kami juga selalu bawa pilox. Kami coreti setiap tembok dengan nama Genk kami “TELAKE”.
“Pernah minum juga, Ded?”
“Jelas pernah donk. Tapi aku nggak seperti yang lain.”
“Maksudnya?”
“Kalau mau mabok, aku selalu ngambil air wudlu. Sholat dua rakaat dan berdoa; Ya Allah, semoga suatu saat aku kembali ke jalan yang benar.”
“Wah, terkabul juga doamu Ded.”
“Ya, mungkin. Sekarang duniaku berubah. Aku cuma berpikir, masa iya akan selamanya begini. Kasihan diriku, orang tuaku dan semua saja yang aku sayangi.”
“He..he… tobat kau sekarang Ded?”
“Entah apa namanya, alih profesi mungkin.”
“Bahagia kau sekarang Ded?”
“Relatif juga. Tapi aku benar-benar nyaman dengan diriku sekarang. Remaja masjid, organisasi, ngaji, perkumpulan NO, teman musik dan rebana, teman-teman baru yang lain, ya semuanya saja.”
“Tak usah kau ambil pusing dengan masa lalumu Ded. Ini saja kenyataan buatmu sekarang. Kau, Ded, pemimpin kami, ketua remaja mesjid kami.”
“Ya, terimakasih atas kepercayaan kalian. Kadang aku terharu mendapati diriku sekarang. Punya banyak teman, belum lama kenal malah. Seperti kamu Dak.”
“Oh ya, Ded. Barangkali berminat juga kau ikut ziarah. Rombongan dengan Mbah Ivin. Ikut Kyai S dari J”
“Boleh juga, menarik mungkin ya. Aku juga belum pernah ikut begituan. Kau juga ikut tentunya.”
“Ya, jika kau berminat, aku akan berangkat juga Ded. Kita berdua. Perjalanan dengan bus, 4 hari malahan.” Esoknya kami mendaftar pada Mbah Ivin, ketua rombongan kami. Imam di mesjid kami. Bapak dari guruku, Madame H.

*
Malam itu semua jamaah rombongan ziarah berkumpul di halaman pondok Kyai S. Banyak betul, heran aku pada tumpahan manusia sebanyak ini. Ya, semua dengan tujuan sama. Ziarah wali keliling Jawa, 4 hari 4 malam. Kyai S memang terkenal dengan jamaahnya yang banyak. Pada mulanya hanya jamaah biasa “Dzikrul Ghofilin”. Lama-lama berkembang jadi jamaah ziarah musiman. 700 orang kali ini yang ikut. Tua, muda, laki, perempuan, ibu, bapak, kakek, nenek, cantik, jelek, semuanya boleh ikut. Ya, asal bayar ongkos. Itu saja syaratnya.
Malam ini kami berkumpul untuk jamuan makan malam dan doa bersama. Malam itu aku bertingkah. Jadi merepotkan D akhirnya. Tiga hari sebelumnya, engkel kananku cedera parah. Hampir retak mungkin. Biasa, main bola dengan kampung sebelah. Malam ini sepertinya sudah sembuh. Tapi naas, cederaku kumat lagi. Perkaranya sepele. Aku bermain “mabuk-mabuk”an. Waktu itu, aku memperagakan gaya berjalan seolah sedang mabok, sempoyongan dengan langkah dibuat-buat. Dan, aduh..! Kakiku terperosok lubang. He..he.. kalau Y tahu dia pasti akan berkomentar “Rasain lu, dasar pecicilan.!” Jadi aku harus mengawali perjalanan ini dengan kaki “keseleo”. Parah juga, “cedera engkel” orang bilang.
Perjalanan pun dimulai. Persinggahan pertama adalah makam Syeh Makdum Wali, Karanglewas. Pukul 11 malam waktu itu. Syeh Makdum Wali pada jaman silam adalah Ulama yang diutus Raden Patah untuk berdakwah di daerah Banyumas. Beliau ditemani seorang senopati, Pangeran Mangkubumi. Beliau, dua orang ini masih kerabat Sunan Bonang. Ketika berdakwah di daerah ini, cukup seru ceritanya. Mereka harus menaklukkan kerajaan Hindhu Kamandaka di Pasir Luhur. Hingga kini di daerah sekitar Pasir, Sungai Logawa, dan Taman Sari masih dapat dijumpai bekas sejarahnya. Tempat itu kini menjadi cagar budaya dan “situs” bersejarah di P.
Konon, pertempuran besar itu dimenangkan oleh Syeh Makdum dan Pangeran Mangkubumi. Sebagai hadiah, Raden Patah menganugerahi Pasir menjadi daerah otonomi khusus atau tanah “perdikan” yang bebas dari kekuasaan manapun. Bahkan hingga jaman Pajang, Mataran dan Belanda. Hingga kini, piagam tersebut masih ada. Pasir sendiri pada mulanya adalah ibukota kerajaan Pasir Luhur. Derah itu merupakan pabrik senjata, hingga sampai kini turun temurun Pasir merupakan daerah industri logam. Pasarnya sendiri, Pasar Karanglewas merupakan pasar purba sejak jaman dahulu. Daerah ini sampai sekarang satu-satunya tempat di P yang masih memiliki armada berkuda peninggalan masa lampau, “Dokar”.
Perhentian selanjutnya menuju Cipete, Cilongok. Makam Syeh ‘Abdush Shomad. Beliau adalah utusan Sunan Gunung Jati untuk berdakwah di daerah ini. Konon beliau mempunyai kesaktian tiada tanding. Beliau membangun masjid di atas bukit yang batunya diambil dari sungai menggunakan rambut yang disambung-sambung. Makamnya sendiri cukup “eksentrik”, terletak diatas bukit.
Ketika naik ke makam, waktu itu tengah malam, suasana betul-betul mencekam. Sepi, hening dan syahdu. Kami harus menaiki bukit melalui jalan setapak yang berundak, kurang lebih 200 m tingginya. Gelap gulita, hanya bunyi hewan malam, wangi semboja yang menusuk hidung dan cahaya obor dalam keremangan. Di kanan kiri berjejer batu-batu nisan tua yang hening membatu. Tak ada yang berani membuka suara saat itu. Saat kulihat kebelakang tampak berjejer lautan manusia berbaju putih, berjalan perlahan menaiki jalan setapak. Bayanganku waktu itu segera tertuju pada pemandangan antrian manusia di padang Ma’syar.
Perjalanan kali ini berhenti di Kroya, makam Kyai Busro. Aku sendiri tidak tahu benar siapa beliau ini. Yang aku dengar dari jamaah di sebelahku, beliau adalah teman dari Kyai S. Istrinya sendiri sekarang menjadi istri Kyai S.

*
Bedug adzan shubuh sudah bertalu. Dan kami berhenti sejenak untuk sholat di Masjid Agung Kebumen. Kota kedua bagiku setelah P. Ibuku, bapakku, kakekku, nenekku, buyutku dan moyangku berasal dari kota ini. Nenekku seorang tabib dulunya. Kakekku sendiri pejuang veteran 45 dari kesatuan Banteng Raiders, pasukan elit AD pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Sudah meninggal kakekku 10 tahun silam. Kakek moyangku, Kramadipa anak dari Kramaprawira, adalah senopati perang Diponegoro. Makamnya berada disamping makam seorang Ulama, tentara Diponegoro juga, Mbah Abdussalam. Kakekku sendiri hingga kini mempunyai peninggalan tombak panglima dan dua keris pusaka. Senjata perang tentara Diponegoro waktu lawan kompeni dulu kata kakekku.
Kali ini, setelah shubuh, aku bisa tidur nyenyak. Perjalanan panjang menuju Kediri. Semua tidur kali ini, termasuk aku dan D, lelah benar kiranya. Kira-kira ashar mungkin baru sampai K, sholat jamak juga nanti kiranya.

*
Kediri, kota seribu Pesantren. Lewat ashar kami memasuki K. Masya Allah, sepanjang perjalanan kanan kiri kulihat saja banyak Pondok berjejer. Seperti deretan toko gethuk di Sokaraja. Yang terbesar dari semuanya adalah Lirboyo dan Ploso. Lirboyo, 1999 aku kesana. Gila! Seumurku, baru pernah kulihat pemandangan seperti ini. Lirboyo, adalah bangunan komplek raksasa membentang sepanjang 2 km. Pernah disana aku barang 3 hari. Berkunjung, ya hanya melancong saja. Dulu ketika Muktamar NU ke-31. Gus Dur, Presiden RI waktu itu yang membuka.
Ploso sendiri tak kalah cantiknya. Bintang pesantren di Jawa Timur. Tidak terlalu luas seperti L. Tapi masih cukup luas untuk ukuran Indonesia. Ploso, lebih mirip hotel berbintang. Bersusun tingkat 3. Semuanya dari kelas No. 1. Arsitektur bangunannya, keramik lantainya, perabotnya, gypsum atapnya. Masjidnya sendiri mewah bukan kepalang, pakai AC segala malahan. Air mancur besar memuncrat indah di tengahnya. Wah…. seperti istana Al Hambra di Andalus mungkin.
Berturut-turut kami berziarah antara Ploso, Lirboyo, Tambak Beras, hingga Jombang. Aku masih dengan engkel kaki membengkak. Pagi ini telah Shubuh juga. Kami sholat di Masjid Agung Pasuruan. Besar dan indah masjidnya. Pagi buta usai sholat, aku mampir di Alun-alun. Ini juga gila menurutku. Semua orang disini, dari penjual makanan, minuman, pembelinya semua berpakaian muslim. Yang tua-tua mengenakan jubah dan sorban. Yang muda berbaju koko, bersarung dan berpici. Anak sekolah semua berjilbab dan berpici, hanya anak Cina saja yang tidak.
Hari ketiga, kami sampai di Ampel Denta, Surabaya. Makam Sunan Ampel dan Mbah Sonhaji. Masjid Ampel, salah satu yang tertua di Jawa. Komplek makamnya sendiri lebih mirip mall. Ada pasar murah di kanan kirinya. Makam ini betul-betul indah. Tidak tampak seperti pekuburan, malah seperti taman hotel berbintang. Seluruh lantai berkeramik marmer, dengan nisan pualam. Pohon-pohon wangi, semboja, melati, kantil dan mawar tertata indah seperti taman kota. Subhanallah. Ini adalah parade kekaguman akan kebesaran Illahi. Mbah Sonhaji sendiri menurut cerita telah dimakamkan 9 kali, mati suri katanya. Dan memang betul, makamnya 9 berjejer-jejer. Sudah mati betulan dulunya. Tapi masjid selalu kotor sepeninggal Mbah Sonhaji. Tidak ada tukang sapu masjid sebersih Mbah Sonhaji kata Sunan Ampel. Sehingga Sunan Ampel berdoa agar Mbah Sonhaji dihidupkan kembali. Begitu terus hingga 9 kali.
Tengah malam kami tiba di Gresik, Giri Kedaton. Makam istana. Ya, dulunya adalah istana Sunan Giri. Sunan Giri sendiri dimakamkan di tengah aula paseban. Aku selalu bisa mendekatkan diri hingga ke nisan. Kali ini juga. Aku menangis sesenggukan di sana. Giri Kedaton meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Semua arsitektur, perabotan dan ukir-ukirannya semuanya asli dari abad 14. Giri kedaton adalah istana yang cukup tinggi di tengah kota. Dari atapnya, terlihat seluruh kota sampai pelabuhan Gresik
Sampai juga kami pada makam Maulana Maghribi. Sesepuh para wali. Sahibul hikayat, beliau sampai ke tanah Jawa terdorong oleh cahaya di langit sebelah timur. Dari Hadramaut, beliau terus menyusuri cahaya itu sampai Gresik, akan tetapi, cahaya itu tampaknya dari sebelah barat. Akhirnya beliau sampai di pantai Pemalang, terus ke selatan. Dan beliau ternyata mendapati bahwa cahaya itu berasal dari seorang pertapa bernama Syeh Jambu Karang di suatu tempat yang tinggi bernama “Ardhi Lawet” (Anak Gunung Slamet di daerah Purbalingga). Beliau kemudian mengajak Syeh Jambu Karang masuk Islam. Beliau berhasil setelah mengalahkannya dalam adu kesaktiaan. Konon, Maulana Maghribi pernah terkena penyakit gatal, lalu beliau menyembuhkan diri di pancuran 7. Tempat itu sekarang terkenal sebagai “Petilasan Syeh Atas Angin”.
Setelah menziarahi makam Sunan Drajat dan Sunan Bonang, tibalah kami di suatu daerah tepi pantai di Tuban. Makam Maulana Ishak, Bapak para wali. Disini kami rehat agak lama, sambil sholat Jum’at.
Tibalah kami pada hari terakhir. Menjelang sore kami telah tiba di Gunung Muria. Ini medan terberat. Bayangkan saja, kami harus mendaki sejauh 1 km ke puncak gunung. Disanalah Sunan Muria dimakamkan. Sahibul hikayat, dari puncak gunung ini Sunan Muria menemukan sebuah pulau terpencil di utara Jawa, Karimun Jawa. Sunan Muria sendiri yang meminta dimakamkan di atas gunung itu. Konon, murid-muridnya yang membawa keranda Sunan Muria, semuanya dapat terbang. Di sini keajaiban menimpaku. Setelah tertatih-tatih mendaki dengan kaki keseleo, akhirnya cedera engkelku sembuh total. Masya Allah, sampai saat ini aku masih percaya bahwa itu adalah keajaiban, berkah dari Sunan Muria.
Perjalanan dilanjutkan ke Makam Sunan Kudus, Masjid Menara Kudus. Dan perhentian terakhir adalah kota Demak. Masjid Demak dan Kadilangu, makam Sunan Kalijaga. Di masjid Demak, konon di depan mihrab pengimaman, terdapat makam Syeh Siti Jenar. Di komplek makam juga tedapat makam Raden Patah. Juga Adipati Unus yang meninggal setelah perang melawan Portugis di Malaka pada 1512
Puas rasanya kami menikmati perjalanan spiritual ini.
“Apa yang akan kau perbuat setelah ini, Ded?” tanyaku pada D disebelahku.
“Pulang, menata diri lebih baik lagi barang tentu. Dan kau sendiri?” ia balas bertanya.
“Aku akan malu pada diriku sendiri jika sepulang dari perjalanan ini masih saja berbuat barang tercela dan tidak patut.”
Aku dan D pulang menuju P dengan lamunan dan bayangan diri masing-masing. Tentang masa lalu yang jadi tempat belajar, masa kini yang sedang dilalui dan masa depan yang coba diterka arahnya.

*
Setiap sahabat menampilkan sebuah dunia dalam diri kita,
Suatu dunia yang mungkin tak pernah ada
jika seorang sahabat tak pernah muncul
Dan hanya lewat pertemuan inilah sebuah dunia akan lahir
*


“Aku takkan Memiliki”
Caffeienne


Kau dihatiku selalu menjadi pujaanku
Kau dijiwaku mengalir di dalam darahku
Yang terdalam yang sama pernah kurasakan
Yang terindah, yang takkan kulupakan
Tapi takkan kumiliki
semua cinta di dirimu
Karena kau tlah memilih
satu cinta teman baikku
Ku tak ingin hancurkan rasa di hatimu
Ku tak ingin hancurkan persahabatanku
Kau memulai dua cinta yang kaujalani
dan tak akan kuharapkan cintamu
Aku takkan memiliki
semua cinta di dirimu
Karena kau tlah memilih
satu cinta teman baikku
Semua kan jadi kenangan
yang tersimpan dalam diriku
Yang takkan pernah menjadi
saat cinta seperti dulu

*

2 komentar:

cwe_prakas mengatakan...

tiad guna kita menangis atopun menyesali apa yang telah terjadi,
semua tlh berlalu tapi hidup hrs truz maju...
meskipun langkah kita terhenti,itupunhanya jedah untuk kita melepas lelah...
tapi bukan untuk kita menyerah.

so',....SEMANGAT!!!!!

era-nezky nadya petrova mengatakan...

era says : ya.. begitulah menariknya hidup...